Selasa, 19 April 2016

SEJARAH DESA WARINGIN .KEC. PALASAH.KAB. MAJALENGKA

sejarah desa waringin
Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Cerita Sejarah Desa Waringin, Kec Palasah Majalengka:
Kurang lebih abad ke 14, ada salah satu Pangeran keturunan dari Ciamis yang bernama Pangeran Aryadipati. Pada suatu hari Pangeran Aryadipat bepergian menuju ke Cirebon, setibanya di Cirebon beliau melakukan semedi di salah satu gunung yang bernama Gunung Penawar Jati yang semarang dinamakan Gunung Jati, Dalam bertapanya, Beliau berdoa kepada Hyang Widi, Gusti yang maha Suci untuk meminta petunjuk. Sebulan lamanya Pangeran Aryadipat bertapa di tempat tersebut, tetapi selalu belum mendapat petunjuk, hanya bisa bersabar dan terus melakukan semedi/bertapa. Kemudian pada malam ke 33 Pangeran Aryadipat mendapat ilham atau petunjuk untuk mencari sebuah pohon yang menyerupai “Cecendet”. Setelah mendapat ilham tersebut kemudian Pangeran Aryadipat berangkat menuju kearah barat. Selama perjalanan hampir 3 tahun lamanya, Pangeran Aryadipat belum juga menemukan pohon yang dicari, hal ini menyebabkan Pangeran Aryadipat hamper putus asa.
Penulis: Pada jaman sekarang, masih adakah orang-orang yang melakukan ritual bertapa seperti halnya Pangeran Aryadipati? Sepertinya sulit untuk menemukannya.
Dalam suatu waktu, Pangeran Aryadipat tiba di satu kampung yang disebut Kampung Tajur, karena terlalu lelah, Pangeran Aryadipat beristirahat di kampung tersebut sampai akhirnya beliau ketiduran. Gusti Allah selalu menyayangi orang yang sabar, sesaat setelah Pangeran Aryadipat terbangun, beliau kaget luar biasa karena tiba-tiba disampingnya ada sebuah pohon yang selama ini dicari-cari.
“Eeeh, sepertinya ini pohon yang selama ini aku cari cari”, gumam Pangeran Aryadipat sambil memperhatikan pohon tersebut. Setelah di teliti dan yakin bahwa pohon tersebut yang selama ini dicari-cari, Pangeran Aryadipat melakukan shalat hajat beberapa kali sebagai wujud teruma kasih dan bersyukurnya atas bantuan Gusti Allah. Setelah selesai shalat Hajat dan berdoa, pohon yang berada disampingnya tersebut secara tiba-tiba berubah membesar dan semakin tinggi, daunnya sangat lebat hijau dan rindang yang membuat siapapun merasa nyaman. Kemudian pohon ini di namakan atau disebut pohon beringin “Caringin-Sunda”.
Penulis: Pembaca pasti tahu pohon beringin kan?
Kalau di perhatikan di lambang Negara kita, pohon beringin ini oleh para pendahulu kita dijadikan sebagai salah satu lambang yang berada di dada burung garuda sebagai salah satu sila dari 5 sila.
Pangeran Aryadipati kemudian memutuskan untuk tinggal di kampung tersebut “Kampung Tajur” dan menikami salah satu putri yang cantik yaitu putri dari Pangerang Sangiang dari Talaga yang bernama Putri Sawit. Dalam menjalin rumah tangganya, Pangeran Aryadipati Dan Putri Siti Sawit sangat menyayangi satu sama lain, kemana mana selalu berjalan bersama “ka cai nya bareng mandi kadarat nya bareng solat—Peribahasa Sunda”. Dari hasil pernikahannya kemudian mereka mempunyai 2 orang putra yang bernama Remban dan Imbar.
Dina hiji waktu nyaeta poe jum’at Kaliwon ,Pangeran Aryadipati kadatangan ku hiji Pangeran nu katelah Sommadullah nu sok disebut oge Pangeran Cakra Bumi malahan leuwih ka koncara Mbah Kuwu Sangkan putra Prabu Siliwangi ti Pajajaran nu ngadon matuh di karajaan Cirebon.
Diceritakan dalam suatu waktu, tepat di hari jum’at Kliwon, Pangeran Aryadipati kedatangan salah satu Pangeran benama Sommadullah yang juga sering disebut Pangeran Cakra Bumi dan lebih di kenal sebagai Mbah Kuwu Sangkan Putra dari Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang tinggal di Kerajaan Cirebon.
“Assalamu’alaikum” Mbah kuwu mengucapkan salam kepada Pangeran Aryadipati.
“Wa’alaikum Salam Warohmatullah” Pangeran Adipati menjawab salam sambil mengulurkan tangan mengajak salaman dengan penuh hormat.
Kemudian Pangeran Cakra Bumi menjelaskan maksud kedatangannya yaitu bersilahturami dan memerintahkan Pangeran Aryadipati untuk menjadi Kepala Kampung Tajur yang ketiga. Sebab pada saat itu baru ada dua orang kepala kampung (Kepala Desa pada jaman sekarang) yaitu Ki Gedeng Alang-Alang yang berada di Gunung Penawar Jati dan Mbah Kuwu Sangkan putra dari Prabu Siliwangi yang berada di Cirebon . Setelah berdiskusi beberapa lama, kemudian Mbah Kuwu kembali ke Cirebon.
Setelah Pangeran Aryadipati dipercaya mempimpin masyarakat Tajur, tidak beberapa lama kemudian datang surat dari Mataram ke Kampung Tajur, yang isinya meminta Pangeraan Aryadipati berangkat ke Mataram ditemani bersama Mbah Kuwu Sangkan dari Cirebon.
Besok harinya, sebelum berangkat ke Mataram, pangeran Aryadipati bermimpi bertemu dengan orang yang tidak dikenal, orang ini meminta untuk membawa pusaka yang adai di depan rumahnya untuk dibawa serta ke mataram.
“Heh.. Pangeran Aryadipari, pangeran segera berangkat ke Mataram, Bawa pusaka yang ada didepan rumah Pangeran” Kata orang tersebut dalam mimpinya.
Pangeran Aryadipari merasa kaget, buru-buru beliau bangun dari tidurnya dan ingat bahwa hari ini harus berangkat ke mataram dengan Mbah Kuwu Sangkan untuk menemui Raja Mataram. Akhirnya Pangeran Aryadipati berpamitan ke istrinya untuk berangkat ke mataram. Pada saat keluar rumah, dia mencari-cari pusaka yang di maksud orang dalam mimpinya.
“Hmmm, Mana ya Pusakanya, apa ini mungkin ? “ kata Pangeran Aryadipati sambil memungut daun “Kelewih”. Tanpa sadar, daun tersebut di lempar kembali oleh pangeran, tiba-tiba daun tersebut berubah menjadi Kuda berdasarkan dari penglihatan pangeran aryadipati. Tidak menunggu lama, pangeran aryadipati kemudian menaiki kuda tersebut dan cepat2 menuju mataram, beliau lupa seharusnya menjemput terlebih dahulu Mbah Kuwu Sangkat di Cirebon.
Penulis: Pembaca sudah pernah ngaraso tumpak kuda ? kalau sayahamah udah sering waktu kecil naik kuda Pak Yati (mang endong payuneun bumi, hehehe).
Setibanya di Mataram, Ki Gedeng sangat murka, matanya melotot dan langsung teriak memarahi pangeran Aryadipati.
“Hey… Aryadipati, kenapa kamu datang sendirian, mana Ki Cakra Bumi?” “Mohon Maaf… Hamba lupa, tidak mampir ke Cirebon” Jawab Pangeran Aryadipati sambil menyembah dalam-dalam.
“Kurang Ajar… Kamu sudah berani melawan Raja, Kamu tidak melaksanakan perintah Raja, Barangsiapa yang tidak mau melaksanakan perintah raja, harus di gantung dan di penggal kepalanya”
“Maafkan hamba, hamba pasrah, hamba tunduk pada perintah Paduka” Kata Pangeran Aryadipati sambil menundukkan kepala merasa sangat menyesal sudah melupakan kewajibannya menjemput Ki Cakra Bumi (Kuwu Sangkan).
“Patih, bawa Ki Aryadipati, seret dan gantung di alun-alun, penggal kepalanya” Perintah Ki Gedeng kepada patihnya dengan sangat marah. Tidak menunggu lama Pangeran Aryadipati dibawa ke alun-alun untuk di hukum gantung.
Setelah tiga bulan lamanya Pangeran Aryadipati tidak kembali ke kampung. Siti Sawit merasa sangat khawatir. Akhirnya Siti Sawit memerintahkan ke rakyatnya yang paling di percaya untuk menyusul Pangeran Aryadipati ke Mataram.
“Paman, Tolong susul suami saya ke mataram, saya merasa sangat khawatir, takut ada apa-apa di perjalanan!” kata Siti sawit sambil menangis tersedu-sedu, khawatir dengan suaminya yang tiga bulan belum pulang pulang.
“Baik den Putri, saya pamit berangkat saat ini juga” Kata salah seorang rakyat tajur sambil segera berdiri dan berangkat menuju mataram ditemani beberapa orang lainnya.
Setibanya di mataram, utusan menemukan kepala Pangeran Aryadipati Menggantung dan sudah terpisan dari badannya. Secepatnya kepala pangedan di turunkan, dan di bungkus dengan kain putih. Aneh bin ajaib, walaupun sudah 13 Hari kepala pangeran adipati di gantung di alun-alun, tidak ada bau bankai sedikitpun. Setelah selesai dibungkus, kemudian utusan tersebut segera pamit.
“Maafkan hamba, hamba pamit, dan mohon izinnya paduka untuk menyerahkan kepala pangeran ke Putri Siti Sawit, yang sudah lama menanti” Kata salah satu urusan sambil menyembah Ki Gedeng. Sejalan dengan berangkatnya utusan tersebut, tubuh Pangeran Aryadipati yang tergeletak dekat tiang tangungan mendadak hilang tanpa bekas. Semua yang ada di situ merasa sangat kaget. Ki Gedeng Mataram dan rakyatnya, juga para utusan dari Tajur, mereka tertipu dengan penglihatannya, tertipu oleh Pangeran Aryadipati. Sebenarnya yang di gantung dan di penggal tiada lain adalah pusakanya yaitu Mahkota Waring. Sebab Pangeran Aryadipati menghilang sewaktu diseret akan di gantung. Utusan dari Kampung Tajur kembali pulang membawa Kepala Pangeran Aryadipati yang dibungkus oleh Kain Putih, Kemudian setibanya di kampung Tajur, bungkusan tersebut diserahkan kepada Nyi Putri Siti Sawit. Secepatnya bungkusan tersebut dikuburkan sebagaimana mestinya, tetapi kedalaman dari kuburan tersebut hanya setengah meter atau sedalam ukuran panjang siku lengan.
Setelah kejadian tersebut, Pangeran Aryadipati tidak mau muncul lagi ke rakyatna, sebab sepengetahuan rakyatnya, Pangeran Aryadipati sudah meninggal di hukum gantung oleh Ki Gedeng Mataram, tetapi istrinya Nyi Siti Sawit saja yang sering menemui dan tahu bahwa suaminya masih hidup dan pindah tempat ke daerah Giri Lawungan.
Penulis: Pembaca tahu dimana letak Giri Lawungan? Giri Lawungan itu adanya di sebelah utara Kota Majalengka.
Mari Kita Lanjutkan:
Diatas kuburan pusaka Pangeran Aryadipati ada pohon “Gebang” yang tumbuh, setelah jumlahnya sebanyak sepuluh batang, pohon tersebut tiba-tiba menghilang. Digantikan dengan pohon mangga.
Sampai sekarang tidak ada yang mengetahui siapa yang menanam pohon tersebut, yang jelas tumbuh dengan sendirinya.
Setelah Pangeran Aryadipati pindah ke Giri Lawungaun, Daerah kampung tajur sering ditemukan kejadian-kejadian aneh oleh Nyi Siti Sawit, dan di utarakan ke para putranya.
Kejadian-kejadian tersebut diantaranya Mahkota atau Kopiah waring Mbah kuwu sangkan ketinggalan di pohon berigin waktu beliau mencari orang yang berkelahi antara Ki Gedeng Hanjatan dan Syarif Arifin memperebutkan bibit sri (Padi/Pare) dan bibit banyu (bibit Air) di sungai Cikeruh .
Sabada Pangeran Aryadipati pindah ka Giri Lawungan sering di wewengkon Tajur sering kajadian hal-hal nu aneh ku Nyi Siti Sawit diterangkeun ka para putrana. Eta kajadian teh diantarana
Pada saat Siti Sawit Melahirkan Remban dan Imbah, Beliau kedatangan Pangeran Cakra Bumi yang pada waktu tersebut Kopiah Waringnya ketinggalan di pondok Siti Sawit.
Yang digantung oleh Ki Gedeng Mataram menurut penglihatan biasa adalah Pangeran Aryadipati, tetapi sebenarnya mahkota yang di buat dari waring. (Karung).
Didasarkan dari beberapa kejadian tersebut, Siti Sawit mengadakan pertemuan dengan para putranya yaitu Remban dan Imbar untuk merubah nama Kampung yang asalnya bernama Kampung Tajur di robah menjadi Waringin , asal kata dari Kopiah ‘’Waring’’(Karung) yang menggantung di pohon Caringin (Beringin) – Tahun berubahnya ini belum ada yang mengetahui.
Mulai saat itu, Waringin di pimpin oleh putra pangeran aryadipati, yaitu Pangeran Remban yang memajukan Syiar Islam, dan Pangeran Imbar yang mengatur Pemerintahan. Setelah Siti Sawit menyerahkan kepada kedua putranya, beliau pindah ke arah barat yang di sebut Hulu Dayeuh. Disebut Hulu Dayeuh dikarenakan pada waktu itu dijadikan tempat musyawara Siti Sawit, Kedua putranya dan segenap rakyatnya untuk memajukan Kampung Waringin.
Pemerintahan di desa Waringin di pimpin oleh pangeran Imbar untuk beberapa tahun, kemudian digantikan oleh Pangeran Remban. Tidak diketahui tahun berapa pangeran imbar dan pangeran Remban meninggal dunia, Yang jelas yang pertama meninggal adalan pangeran Imbar.
Pembaca sekalian, setelah pangeran imbar dan pangeran remban meninggal tercatat beberapa kuwu/Kepala desa yang pernah memimpin Desa/Kampung Waringin yaitu:
Nama Kuwu Tahun Menjabat Tahun Berhenti Keterangan
Sarka
Somnyah 1912 1915
Amal 1916 1938
Ujat 1939 1948
Naptiah 1949 1950 Mengisi Kekosongan
Armawi 1951 1953
Sumanta 1954 1967
M. Tasdik 1968 1969 Mengisi kekosongan
Markum 1970 1977
Duslan 1978 1989
M. Warma 1990 1999
Tjaskam 2000 2005
Imas Masriah 2006 2013 Kuwu Perempuan Pertama
Umar 2013 Berjalan


Senin, 04 April 2016

KEBUN TEH CIPASUNG KEC. LEMAH SUGIH KAB. MAJALENGKA

MENIKMATI PERKEBUNAN TEH CIPASUNG.

Panorama Perkebunan Teh Cipasung
Panorama Perkebunan Teh Cipasung
Tak usah jauh-jauh ke Puncak Bogor atau Ciwidey Bandung untuk dapat menikmati panorama perkebunan teh dengan udara yang dingin dan diselimuti kabut, Perkebunan teh punada di Kabupaten Majalengka, ya Perkebunan Teh Cipasung Lemahsugih.
Perkebunan Teh Cipasung terletak di Desa Cipasung Kecamatan Lemahsugih. Perkebunan. teh ini berjarak +- 59 KM dari Majalengka Kota dengan waku tempu sekitar 1,5-2 jam perjalanan.\. Perkebunan teh ini berada di lereng timur dari Gunung Cakrabuana dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Perkebunan teh ini seluas +- 58 Hektar dan dikelola oleh Koperasi Buana Mukti. Selain perkebunan  teh disini juga terdapat pabrik pengeringan daun teh.
Pabrik Pengeringan Daun Teh
Pabrik Pengeringan Daun Teh
Panorama dari perkebunan teh ini sungguh memanjakan mata, hamparan tanaman teh menghijau di lereng-lereng bukit. Dengan udara sejuk dan terkadang berkabut membuat para pengunjung betah untuk berlama-lama di perkebunan teh ini.
Ada dua alternatif jalur menuju Perkebunan Teh Cipasung yang pertama adalah melewati Desa Lemahputih – Borogojol dan Cipasung atau dengan jalan yang lebih singkat dengan rute Bantarujeg – Cigaleuh – Kalapa Dua – Bangbayang-Cipasung. Mayoritas jalan sudah mulus hotmiks namun dibeberapa titik terdapat kerusakan.
Nikmati udara yang sejuk dan panorma alam yang memikat dari objek wisata Perkebuna  Teh Cipasung Lemahsugih.


@copyright infomjlk



DESA Weragati KEC. Palasah KAB. Majalengka



SEJARAH DESA WERAGATI


Sejarah desa ini disusun berdasarkan cerita rakyat yang  beredar secara turun – temurun dan dihubungkan dengan bukti-bukti sejarah yang ada sebagai pendukung. Desa Weragati berdiri sekitar akhir abad ke-16, sejak dibukanya hutan belantara di pinggir Sungai Ciherang untuk dijadikan pemukiman, yang kemudian diberi nama “ Wanagati “ ( hutan lebat yang indah ). Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, tokoh pembuka hutan tersebut dijuluki “ Buyut Wanagati “.
Setelah pemukiman tersebut semakin luas dan penghuninya semakin banyak, maka berkembang menjadi sebuah desa yang diberi nama “ Weragati “ ( indah nan lestari ). Pada masa itu, wilayah Desa Weragati cukup luas hingga mencakup Desa Nanggewer, dan dipimpin oleh para Demang yang memiliki kesaktian tinggi seperti Demang Sisipi, Demang Jaya Maindra, Demang Ranggajaya, Demang Ranggapati dan Demang Kalang Banteng.
Khusus mengenai Demang Kalang Banteng, nama ini sebenarnya merupakan julukan atas kesaktian dan tenaganya yang luar biasa laksana banteng. Menurut sebuah versi cerita, tokoh ini gugur dalam Perang Bantarjati pada saat membantu tokoh sejarah Ki Bagus Rangin mengusir penjajah.
Selanjutnya, sejalan dengan terjadinya penyerahan daerah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang bagian timur mulai Cilutung sampai Brebes kepada Kesultanan Cirebon, maka pengaruh-pengaruh Cirebon pun semakin kuat masuk ke Weragati. Julukan Demang bagi seorang Kepala Desa, berubah menjadi Kuwu. Dan karena seorang Kuwu merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dan dituakan oleh masyarakatnya, maka selain sebagai pemimpin pemerintahan juga harus mampu menjadi petugas pernikahan warganya yang merupakan tugas seorang “ Lebe “. Itulah sebabnya, kepala desa pada saat itu disebut “ Bewu “ yang berarti Kuwu merangkap Lebe.
Masa Pemerintahan Bewu berjalan sekitar 45 tahun. Pada masa itu terjadi sebuah peristiwa penting saat Bewu menikahkan anak perempuannya dimeriahkan dengan pagelaran wayang. Pesta perkawinan berakhir dengan kekacauan karena pengantin perempuan tergoda oleh sang Dalang wayang yang kemudian membawa lari pengantin perempuan dan ditemukan tergantung di pohon beringin. Bewu pun murka dan mengeluarkan “ supata “ ( kutukan ) bahwa sejak saat itu di wilayah Weragati dengan semua keturunannya tidak boleh ada wayang dan pohon beringin.
Setelah era Pemerintahan Bewu, kepala desa Weragati dijabat oleh JASRI yang memerintah selama 20 tahun. Pada masa itu, Nanggewer resmi terpisah dari Weragati dan berdiri sendiri sebagai sebuah desa.
Pengganti JASRI adalah SIAH. Walaupun hanya memerintah selama satu tahun, SIAH berhasil memindahkan pusat Pemerintahan Desa Weragati dari Dukuh Maja ke tempat yang sekarang. Pemerintahan Desa Weragati kemudian dipimpin oleh AJEM yang berhasil mendirikan sebuah pesantren di dukuh katuk ( RW.01 Blok Dalem ).
Pengganti AJEM adalah WANGSA DINATA. Pada masa ini Weragati mencapai zaman keemasan dengan dibangunnya Mesjid Jami Nurul Huda dan Balai Desa pada tahun 1893, sekolah ( sekarang Bangunan TK Binangkit ) tahun 1914, dan jembatan Cibuni tahun 1926, serta menciptakan tata ruang Desa Weragati dengan membuat jalan lingkar desa. Atas berbagai keberhasilan itu, pada tahun 1935 Desa Weragati mendapatkan penghargaan Bintang Jasa dari pemerintah Hindia Belanda.
Masa Pemerintahan WANGSA DINATA berakhir pada tahun 1936 dan digantikan KASAH hingga tahun 1941. Pada masa pemerintahan KASAH, dilakukan penataan lingkungan alun-alun, termasuk penanaman pohon kelapa di sekelilingnya.
Tahun 1942 JENI menggatikan KASAH selama satu tahun karena meninggal dunia, dan digantikan oleh MURHAWI NATA SASMITA yang memerintah sampai tahun 1947. Jabatan MURHAWI NATA SASMITA berakhir karena ditahan Belanda, dan digantikan oleh NASPAN hingga tahun 1950.
NASPAN digantikan oleh MADRAWI. Pada masa ini, pembangunan Desa Weragati kembali berkembang. Pada tahun 1952 dibangun Sekolah Dasar Gotong Royong ( sekarang SDN I ) dan lapangan sepak bola. Pada tahun 1958 Weragati untuk pertama kali mendapat kunjungan seorang Gubernur Jawa Barat ( Bapak Mashudi ), karena berhasil menjadi juara kebersihan sekolah tingkat Provinsi.
Tahun 1963 MADRAWI berhenti karena lanjut usia, dan digantikan RUSGI AL SAENAH hingga tahun 1968. Pada masa itu, pembangunan desa kembali terhambat sehubungan dengan terjadinya gejolak politik nasional, terutama meletusnya G 30 S/PKI. Pembangunan mulai berjalan kembali pada masa pemerintahan BASAR yang menggantikan RUSGI AL SAENAH tahun 1968. BASAR mulai menerapkan system pemerintahan modern di samping meneruskan arah pembangunan para pendahulunya. Berbagai prestasi dicapai seperti Juara II lomba Desa tingkat Provinsi, dan Weragati untuk kedua kalinya mendapat kunjungan Gubernur ( Aang Kunaefi ).
Dalam bidang infrastruktur BASAR berhasil membangun jalan-jalan gang yang menghubungkan jalan lingkar desa dengan jalan raya dan membangun bendungan Batununggul.
Awal tahun 1980 BASAR habis masa jabatannya dan digantikan M. YUNUS BADASENA, yang menjabat selama satu setengah tahun karena meninggal dunia. Dan untuk mengisi kekosongan KABA AWATI diangkat menjadi penjabat Kepala Desa hingga tahun 1984 saat BASAR kembali terpilih untuk kedua kalinya menjadi Kepala Desa depinitif.
Masa pemerintahan BASAR periode kedua dilalui dengan pencapaian berbagai prestasi kembali. Dia berhasil merehab Mesjid Nurul Huda, membangun SD Inpres ( sekarang SDN III ) dan SDN 2, serta membangun jembatan Ciherang menjadi permanen. Weragati juga dinobatkan sebagai Desa Binaan Pemuda tingkat Provinsi Jawa Barat dan dikunjungi Menpora saat itu, Bapak Akbar Tanjung.
Tanggal 18 Oktober 1993 ALI HASAN menggantikan Basar yang sudah habis masa jabatannya. Dengan visi yang cukup tajam serta pengalamannya ikut merancang konsep-konsep pembangunan Weragati pada saat kepemimpinan Basar dan sebagai Kepala Desa yang cukup berhasil di Sulawesi Tenggara, ALI HASAN berhasil meletakan pondasi-pondasi kemajuan desa yang belum tergarap pada masa pemerintahan Basar.
Dia berhasil melakukan pengaspalan jalan gang di seluruh wilayah Weragati, dan membangun pasar desa, walaupun belum sampai tuntas karena habis masa jabatan. Dalam bidang pendidikan berhasil menempatkan MTsN Palasah di Desa Weragati, dan dalam bidang kesehatan dia berhasil membangun Puskesmas Pembantu ( Pustu ), serta mengganti pohon kelapa yang sudah terlalu tua di lingkungan alun-alun dengan pohon mangga.
Tahun 2001, Ali Hasan digantikan JONO HARJONO S.S walaupun tidak sampai tuntas memangku jabatan karena mengundurkan diri, JONO HARJONO S.S berhasil merehab kembali Balai Desa dan memasang paving blok di alun-alun, serta merehab SDN. III.
Tahun 2004 Jono Harjono S.S mengundurkan diri, dan untuk mengisi jabatan Kepala Desa diangkat JAYUS yang saat itu menjabat Sekretaris Desa menjadi Penjabat Sementara Kepala Desa. Walaupun hanya selama 8 bulan jabatannya, JAYUS telah berhasil membangun pagar lingkungan Mesjid Nurul Huda dan berhasil menyelenggarakan pemilihan kepala desa depinitif.
Tanggal 22 Juli 2005, Drs. ASKARI dilantik menjadi Kepala Desa depinitif hingga sekarang. Dengan visi “ Tercapainya Weragati Sugih Mukti dan Mewujudkan Panca Sembada Berbasis Masyarakat Religius dan Partisipatif, Askari berusaha menciptakan lima kemandirian desa dalam bidang pangan, pendidikan, kesehatan, perekonomian ( daya beli ), dan pemerintahan dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah religius dan partisifasi masyarakat. Dalam bidang pangan, Askari berhasil menumbuhkan lumbung pangan di setiap RW. Bidang pendidikan berhasil merehab TK “ Binangkit “, rehab SDN I dan II, membangun Madrasah “ Miptahurrahmat “ dan “ Al Kautsar “, membangun PAUD/Kober “ Puputon “ dan membangun perpustakaan “ Binekas “ yang sempat menjadi perpustakaan desa terbaik di Jawa Barat.
Bidang kesehatan dia berhasil meningkatkan stara posyandu dari purnama menjadi mandiri dan membangun tempat pembuangan akhir sampah, hingga Weragati menjadi juara lomba desa siaga tingkat Kabupaten Majalengka tahun 2008 dan juara II lomba 10 program PKK tingkat Jawa Barat tahun 2007. bidang perekonomian, dia berhasil mengembangkan koprasi “ Bina Mandiri “, menciptakan produk-produk unggulan desa, dan lembaga ekonomi mikro, dll hingga Weragati dinobatkan menjadi desa pertumbuhan terbaik di Jawa Barat tahun 2007.
Bidang pemerintahan, berhasil diterapkan otonomi sampai ke tingkat RW. dan berhasil menjadi juara II lomba desa tingkat Provinsi dan dijadikan tempat penyelenggaraan bulan bakti gotong royong tingkat provinsi tahun 2007 yang dihadiri Gubernur Dani Setiawan.