Selasa, 19 April 2016

SEJARAH DESA WARINGIN .KEC. PALASAH.KAB. MAJALENGKA

sejarah desa waringin
Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Cerita Sejarah Desa Waringin, Kec Palasah Majalengka:
Kurang lebih abad ke 14, ada salah satu Pangeran keturunan dari Ciamis yang bernama Pangeran Aryadipati. Pada suatu hari Pangeran Aryadipat bepergian menuju ke Cirebon, setibanya di Cirebon beliau melakukan semedi di salah satu gunung yang bernama Gunung Penawar Jati yang semarang dinamakan Gunung Jati, Dalam bertapanya, Beliau berdoa kepada Hyang Widi, Gusti yang maha Suci untuk meminta petunjuk. Sebulan lamanya Pangeran Aryadipat bertapa di tempat tersebut, tetapi selalu belum mendapat petunjuk, hanya bisa bersabar dan terus melakukan semedi/bertapa. Kemudian pada malam ke 33 Pangeran Aryadipat mendapat ilham atau petunjuk untuk mencari sebuah pohon yang menyerupai “Cecendet”. Setelah mendapat ilham tersebut kemudian Pangeran Aryadipat berangkat menuju kearah barat. Selama perjalanan hampir 3 tahun lamanya, Pangeran Aryadipat belum juga menemukan pohon yang dicari, hal ini menyebabkan Pangeran Aryadipat hamper putus asa.
Penulis: Pada jaman sekarang, masih adakah orang-orang yang melakukan ritual bertapa seperti halnya Pangeran Aryadipati? Sepertinya sulit untuk menemukannya.
Dalam suatu waktu, Pangeran Aryadipat tiba di satu kampung yang disebut Kampung Tajur, karena terlalu lelah, Pangeran Aryadipat beristirahat di kampung tersebut sampai akhirnya beliau ketiduran. Gusti Allah selalu menyayangi orang yang sabar, sesaat setelah Pangeran Aryadipat terbangun, beliau kaget luar biasa karena tiba-tiba disampingnya ada sebuah pohon yang selama ini dicari-cari.
“Eeeh, sepertinya ini pohon yang selama ini aku cari cari”, gumam Pangeran Aryadipat sambil memperhatikan pohon tersebut. Setelah di teliti dan yakin bahwa pohon tersebut yang selama ini dicari-cari, Pangeran Aryadipat melakukan shalat hajat beberapa kali sebagai wujud teruma kasih dan bersyukurnya atas bantuan Gusti Allah. Setelah selesai shalat Hajat dan berdoa, pohon yang berada disampingnya tersebut secara tiba-tiba berubah membesar dan semakin tinggi, daunnya sangat lebat hijau dan rindang yang membuat siapapun merasa nyaman. Kemudian pohon ini di namakan atau disebut pohon beringin “Caringin-Sunda”.
Penulis: Pembaca pasti tahu pohon beringin kan?
Kalau di perhatikan di lambang Negara kita, pohon beringin ini oleh para pendahulu kita dijadikan sebagai salah satu lambang yang berada di dada burung garuda sebagai salah satu sila dari 5 sila.
Pangeran Aryadipati kemudian memutuskan untuk tinggal di kampung tersebut “Kampung Tajur” dan menikami salah satu putri yang cantik yaitu putri dari Pangerang Sangiang dari Talaga yang bernama Putri Sawit. Dalam menjalin rumah tangganya, Pangeran Aryadipati Dan Putri Siti Sawit sangat menyayangi satu sama lain, kemana mana selalu berjalan bersama “ka cai nya bareng mandi kadarat nya bareng solat—Peribahasa Sunda”. Dari hasil pernikahannya kemudian mereka mempunyai 2 orang putra yang bernama Remban dan Imbar.
Dina hiji waktu nyaeta poe jum’at Kaliwon ,Pangeran Aryadipati kadatangan ku hiji Pangeran nu katelah Sommadullah nu sok disebut oge Pangeran Cakra Bumi malahan leuwih ka koncara Mbah Kuwu Sangkan putra Prabu Siliwangi ti Pajajaran nu ngadon matuh di karajaan Cirebon.
Diceritakan dalam suatu waktu, tepat di hari jum’at Kliwon, Pangeran Aryadipati kedatangan salah satu Pangeran benama Sommadullah yang juga sering disebut Pangeran Cakra Bumi dan lebih di kenal sebagai Mbah Kuwu Sangkan Putra dari Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang tinggal di Kerajaan Cirebon.
“Assalamu’alaikum” Mbah kuwu mengucapkan salam kepada Pangeran Aryadipati.
“Wa’alaikum Salam Warohmatullah” Pangeran Adipati menjawab salam sambil mengulurkan tangan mengajak salaman dengan penuh hormat.
Kemudian Pangeran Cakra Bumi menjelaskan maksud kedatangannya yaitu bersilahturami dan memerintahkan Pangeran Aryadipati untuk menjadi Kepala Kampung Tajur yang ketiga. Sebab pada saat itu baru ada dua orang kepala kampung (Kepala Desa pada jaman sekarang) yaitu Ki Gedeng Alang-Alang yang berada di Gunung Penawar Jati dan Mbah Kuwu Sangkan putra dari Prabu Siliwangi yang berada di Cirebon . Setelah berdiskusi beberapa lama, kemudian Mbah Kuwu kembali ke Cirebon.
Setelah Pangeran Aryadipati dipercaya mempimpin masyarakat Tajur, tidak beberapa lama kemudian datang surat dari Mataram ke Kampung Tajur, yang isinya meminta Pangeraan Aryadipati berangkat ke Mataram ditemani bersama Mbah Kuwu Sangkan dari Cirebon.
Besok harinya, sebelum berangkat ke Mataram, pangeran Aryadipati bermimpi bertemu dengan orang yang tidak dikenal, orang ini meminta untuk membawa pusaka yang adai di depan rumahnya untuk dibawa serta ke mataram.
“Heh.. Pangeran Aryadipari, pangeran segera berangkat ke Mataram, Bawa pusaka yang ada didepan rumah Pangeran” Kata orang tersebut dalam mimpinya.
Pangeran Aryadipari merasa kaget, buru-buru beliau bangun dari tidurnya dan ingat bahwa hari ini harus berangkat ke mataram dengan Mbah Kuwu Sangkan untuk menemui Raja Mataram. Akhirnya Pangeran Aryadipati berpamitan ke istrinya untuk berangkat ke mataram. Pada saat keluar rumah, dia mencari-cari pusaka yang di maksud orang dalam mimpinya.
“Hmmm, Mana ya Pusakanya, apa ini mungkin ? “ kata Pangeran Aryadipati sambil memungut daun “Kelewih”. Tanpa sadar, daun tersebut di lempar kembali oleh pangeran, tiba-tiba daun tersebut berubah menjadi Kuda berdasarkan dari penglihatan pangeran aryadipati. Tidak menunggu lama, pangeran aryadipati kemudian menaiki kuda tersebut dan cepat2 menuju mataram, beliau lupa seharusnya menjemput terlebih dahulu Mbah Kuwu Sangkat di Cirebon.
Penulis: Pembaca sudah pernah ngaraso tumpak kuda ? kalau sayahamah udah sering waktu kecil naik kuda Pak Yati (mang endong payuneun bumi, hehehe).
Setibanya di Mataram, Ki Gedeng sangat murka, matanya melotot dan langsung teriak memarahi pangeran Aryadipati.
“Hey… Aryadipati, kenapa kamu datang sendirian, mana Ki Cakra Bumi?” “Mohon Maaf… Hamba lupa, tidak mampir ke Cirebon” Jawab Pangeran Aryadipati sambil menyembah dalam-dalam.
“Kurang Ajar… Kamu sudah berani melawan Raja, Kamu tidak melaksanakan perintah Raja, Barangsiapa yang tidak mau melaksanakan perintah raja, harus di gantung dan di penggal kepalanya”
“Maafkan hamba, hamba pasrah, hamba tunduk pada perintah Paduka” Kata Pangeran Aryadipati sambil menundukkan kepala merasa sangat menyesal sudah melupakan kewajibannya menjemput Ki Cakra Bumi (Kuwu Sangkan).
“Patih, bawa Ki Aryadipati, seret dan gantung di alun-alun, penggal kepalanya” Perintah Ki Gedeng kepada patihnya dengan sangat marah. Tidak menunggu lama Pangeran Aryadipati dibawa ke alun-alun untuk di hukum gantung.
Setelah tiga bulan lamanya Pangeran Aryadipati tidak kembali ke kampung. Siti Sawit merasa sangat khawatir. Akhirnya Siti Sawit memerintahkan ke rakyatnya yang paling di percaya untuk menyusul Pangeran Aryadipati ke Mataram.
“Paman, Tolong susul suami saya ke mataram, saya merasa sangat khawatir, takut ada apa-apa di perjalanan!” kata Siti sawit sambil menangis tersedu-sedu, khawatir dengan suaminya yang tiga bulan belum pulang pulang.
“Baik den Putri, saya pamit berangkat saat ini juga” Kata salah seorang rakyat tajur sambil segera berdiri dan berangkat menuju mataram ditemani beberapa orang lainnya.
Setibanya di mataram, utusan menemukan kepala Pangeran Aryadipati Menggantung dan sudah terpisan dari badannya. Secepatnya kepala pangedan di turunkan, dan di bungkus dengan kain putih. Aneh bin ajaib, walaupun sudah 13 Hari kepala pangeran adipati di gantung di alun-alun, tidak ada bau bankai sedikitpun. Setelah selesai dibungkus, kemudian utusan tersebut segera pamit.
“Maafkan hamba, hamba pamit, dan mohon izinnya paduka untuk menyerahkan kepala pangeran ke Putri Siti Sawit, yang sudah lama menanti” Kata salah satu urusan sambil menyembah Ki Gedeng. Sejalan dengan berangkatnya utusan tersebut, tubuh Pangeran Aryadipati yang tergeletak dekat tiang tangungan mendadak hilang tanpa bekas. Semua yang ada di situ merasa sangat kaget. Ki Gedeng Mataram dan rakyatnya, juga para utusan dari Tajur, mereka tertipu dengan penglihatannya, tertipu oleh Pangeran Aryadipati. Sebenarnya yang di gantung dan di penggal tiada lain adalah pusakanya yaitu Mahkota Waring. Sebab Pangeran Aryadipati menghilang sewaktu diseret akan di gantung. Utusan dari Kampung Tajur kembali pulang membawa Kepala Pangeran Aryadipati yang dibungkus oleh Kain Putih, Kemudian setibanya di kampung Tajur, bungkusan tersebut diserahkan kepada Nyi Putri Siti Sawit. Secepatnya bungkusan tersebut dikuburkan sebagaimana mestinya, tetapi kedalaman dari kuburan tersebut hanya setengah meter atau sedalam ukuran panjang siku lengan.
Setelah kejadian tersebut, Pangeran Aryadipati tidak mau muncul lagi ke rakyatna, sebab sepengetahuan rakyatnya, Pangeran Aryadipati sudah meninggal di hukum gantung oleh Ki Gedeng Mataram, tetapi istrinya Nyi Siti Sawit saja yang sering menemui dan tahu bahwa suaminya masih hidup dan pindah tempat ke daerah Giri Lawungan.
Penulis: Pembaca tahu dimana letak Giri Lawungan? Giri Lawungan itu adanya di sebelah utara Kota Majalengka.
Mari Kita Lanjutkan:
Diatas kuburan pusaka Pangeran Aryadipati ada pohon “Gebang” yang tumbuh, setelah jumlahnya sebanyak sepuluh batang, pohon tersebut tiba-tiba menghilang. Digantikan dengan pohon mangga.
Sampai sekarang tidak ada yang mengetahui siapa yang menanam pohon tersebut, yang jelas tumbuh dengan sendirinya.
Setelah Pangeran Aryadipati pindah ke Giri Lawungaun, Daerah kampung tajur sering ditemukan kejadian-kejadian aneh oleh Nyi Siti Sawit, dan di utarakan ke para putranya.
Kejadian-kejadian tersebut diantaranya Mahkota atau Kopiah waring Mbah kuwu sangkan ketinggalan di pohon berigin waktu beliau mencari orang yang berkelahi antara Ki Gedeng Hanjatan dan Syarif Arifin memperebutkan bibit sri (Padi/Pare) dan bibit banyu (bibit Air) di sungai Cikeruh .
Sabada Pangeran Aryadipati pindah ka Giri Lawungan sering di wewengkon Tajur sering kajadian hal-hal nu aneh ku Nyi Siti Sawit diterangkeun ka para putrana. Eta kajadian teh diantarana
Pada saat Siti Sawit Melahirkan Remban dan Imbah, Beliau kedatangan Pangeran Cakra Bumi yang pada waktu tersebut Kopiah Waringnya ketinggalan di pondok Siti Sawit.
Yang digantung oleh Ki Gedeng Mataram menurut penglihatan biasa adalah Pangeran Aryadipati, tetapi sebenarnya mahkota yang di buat dari waring. (Karung).
Didasarkan dari beberapa kejadian tersebut, Siti Sawit mengadakan pertemuan dengan para putranya yaitu Remban dan Imbar untuk merubah nama Kampung yang asalnya bernama Kampung Tajur di robah menjadi Waringin , asal kata dari Kopiah ‘’Waring’’(Karung) yang menggantung di pohon Caringin (Beringin) – Tahun berubahnya ini belum ada yang mengetahui.
Mulai saat itu, Waringin di pimpin oleh putra pangeran aryadipati, yaitu Pangeran Remban yang memajukan Syiar Islam, dan Pangeran Imbar yang mengatur Pemerintahan. Setelah Siti Sawit menyerahkan kepada kedua putranya, beliau pindah ke arah barat yang di sebut Hulu Dayeuh. Disebut Hulu Dayeuh dikarenakan pada waktu itu dijadikan tempat musyawara Siti Sawit, Kedua putranya dan segenap rakyatnya untuk memajukan Kampung Waringin.
Pemerintahan di desa Waringin di pimpin oleh pangeran Imbar untuk beberapa tahun, kemudian digantikan oleh Pangeran Remban. Tidak diketahui tahun berapa pangeran imbar dan pangeran Remban meninggal dunia, Yang jelas yang pertama meninggal adalan pangeran Imbar.
Pembaca sekalian, setelah pangeran imbar dan pangeran remban meninggal tercatat beberapa kuwu/Kepala desa yang pernah memimpin Desa/Kampung Waringin yaitu:
Nama Kuwu Tahun Menjabat Tahun Berhenti Keterangan
Sarka
Somnyah 1912 1915
Amal 1916 1938
Ujat 1939 1948
Naptiah 1949 1950 Mengisi Kekosongan
Armawi 1951 1953
Sumanta 1954 1967
M. Tasdik 1968 1969 Mengisi kekosongan
Markum 1970 1977
Duslan 1978 1989
M. Warma 1990 1999
Tjaskam 2000 2005
Imas Masriah 2006 2013 Kuwu Perempuan Pertama
Umar 2013 Berjalan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar