LEGENDA KELURAHAN CIKASARUNG
KECAMATAN MAJALENGKA KABUPATEN MAJALENGKA
Di sebelah utara kota Majalengka, sekitar kurang lebih 2,5 Km dari pusat kota Kabupaten setelah melewati Pasir Melati dan Sungai Cideres ada sebuah kelurahan bernama Cikasarung. Kelurahan Cikasarung termasuk dalam wilayah Kecamatan Majalengka dan merupakan perbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Dawuan. Jumlah penduduk Kelurahan Cikasarung saat ini 2885 jiwa dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Sebagai sebuah Desa/Kelurahan, Cikasarung bersifat homogen, hal ini menjadikan interaksi antar warganya begitu akrab-bersahabat penuh rasa kekeluargaan.
Lajimnya sebuah kawasan pemukiman di daerah Pasundan penggunaan kata ‘ci’ yang diambil dari kata cai yang berarti air mengandung makna bahwa tempat tersebut subur dengan terdapatnya sumber-sumber air yang melimpah yang ditenggarai dengan adanya satu atau ada beberapa sungai di tempat tersebut.
Di Kelurahan Cikasarung ada sungai yang mana dari nama sungai tersebut lah nama Cikasarung diambil. Sungai Cikasarung berhuli di sebelah Tenggara Kelurahan mengalir sampai Desa karangsambung Kecamatan Kadipaten dan bermuara di Sungai Cilutung.
Di antara nama-nama desa / kelurahan yang berada di Kabupaten Majalengka bahkan di Jawa Barat sekalipun, mungkin nama Cikasarunglah yang terasa asing dan mungkin juga unik di telinga orang-orang yang mendengarnya. Hal tersebut bisa dilihat dari ekspresi orang-orang yang selalu tersenyum ketika nama Cikasarung disebut. Rata-rata mereka beranggapan nama itu diambil dari kata ‘sarung’ dengan mengartikannya ‘cai dina sarung’ (air di dalam kain sarung). Atau ada juga yang menghubungkannya dengan cerita rakyat Lutung Kasarung. Namun menurut sesepuh nama Desa Cikasarung itu diambil dari nama sungai yang mengalir melingkari blok desa. Nama Cikasarung sendiri diambil dari dua kata yaitu: cai dan kasarung.
Menurut para sesepuh desa, asal muasal keberadaan Kelurahan Cikasarung tidak bisa dilepaskan dengan Sejarah Kerajaan Islam Mataram di Jawa Tengah. Pada masa Mataram diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram berniat merebut Jayakarta yang pada waktu itu bernama Batavia dari tangan penjajah Belanda. Untuk menyukseskan penyerangan tersebut diperlukan perencanaan yang matang dan jitu. Melihat jarak Mataram- Batavia yang begitu jauh maka sang Sultan memperhitungkan bahwa masalah logistik atau bahan pangan akan menjadi kendala terbesar yang akan dihadapi oleh pasukan Mataram. Untuk mengatsi hal tersebut Sultan memutuskan untuk mengirim secara rahasia para prajurit yang mempunyai keahlian bercocok tanam guna membuka lahan-lahan pertanian di sepanjang jalur yang akan di lewati yaitu di sekitar jalur pantai Utara Jawa Barat sekarang ini. Tugas pokok prajurit-prajurit tersebut adalah membuat lumbung-lumbung padi untuk mensuplai kebutuhan logistik pasukan.
Diceritakan lima orang prajurit mataram sampai ke sebuah tempat di kawasan Kelurahan Cikasarung saat ini. Di tempat tersebut hanya terdapat beberapa keluarga petani yang sederhana dengan seseorang yang dianggap sebagai sesepuh mereka, tepatnya tempat itu masih berupa babakan bukan kampung apalagi desa. Seperti layaknya orang pedesaan warga Babakan itu menyambut kedatangan kelima tamu tak dikenal itu dengan ramah, mereka berkumpul di rumah sesepuh bercengkrama penuh keakraban.
“ Jadi apa maksud ki sanak berlima datang ke sini ?” Tanya sesepuh setelah orang-orang pulang ke rumahnya masing-masing, saat suasana mulai tenang.
“ Sebab saya lihat dari sikap dan penampilan ki sanak bukan para pengembara sembarangan yang kesasar tanpa arah dan tujuan,” lanjutnya lagi.
Kelima prajurit itu saling pandang satu sama lainnya, kemudian keempat orang dari mereka menggunakan kepala kepada seseorang yang menjadi juru bicara, rupanya orang itu adalah pemimpin diantara mereka berlima.
“ melihat keramahan dan keikhlasan hati menyambut kami berempat, baiklah saya akan menerangkan siapa kami sebenarnya. Kami yakin Aki cukup bijak untuk menyimpan rahasia ini.” Lantas pimpinan itu mencerikan semuanya.
“ Begitulah Ki ceritanya.” Ucap pimpinan prajurit itu.
“ O, begitu. Jadi raden-raden ini prajurit Mataram.”
“ Jangan panggil kami raden, toh kami hanya prajurit biasa dan lagipula kami sampai ke Babakan ini bisa juga disebut nyasar karena tujuan kami sebenarnya adalah jalur Pantai Utara Jawa.
“ Baiklah kalau begitu saya pribadi sangat mendukung perjuangan Sultan untuk merebut Batavia. Sebagai bentuk dukungan, saya akan mengganjar kalian dengan lahan sebelah Timur babakan ini untuk digarap menjadi lading atau sawah.”
“ Ooh … terima kasih sekali, Ki.” Jawab mereka berlima serempak.
“ Orang-orang Babakan ini penuh rasa welas asih ini memang Babakan Asih !” Seru pimpinan prajurit kegirangan.
Sejak saat itu Babakan tersebut disebut blok Babakan Asih karena orang-orang di Babakan itu mempunyai sifat welas asih yang tinggi. Sedangkan kelima prajurit Mataram disebut sebagai Balaganjar diambil dari kata Balad dan Ganjar yang artinya : Orang-orang atau kelompok yang diganjar – diberi anugrah, dan tempat mukim merekapun disebut blok Balaganjar.
Setelah itu kelima prajurit Mataram yang memang ahli dalam bertani menggarap lahan yang diberikan oleh sesepuh Babakan Asih. Kendala pertama yang mereka temui susahnya mencari sumber air untuk mengairi lahan mereka, karena letak lahan pertanian yang akan mereka garap lebih tinggi dari Sungai Cideres deet yang berada di sebelah utaranya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari sumber air di bukit sebelah selatan. Hamper seharian penuh mereka mencarinya, menjelang waktu Ashar mereka menemukan rembesan-rembesan air yang keluar dari rumpun-rumpun honje yang terletak di tebing pasir ynag agak landai. Setelah di korek-korek rembesan-rembesan air itu semakin membesar.
“ Air! Air!” seru mereka kegirangan.
“ Airnya deras sekali, dan jernih.”
“ Cepat bikin pancuran! Biar nanti besok kita buatkan parit-parit untuk aliran airnya.” Perintah sang pemimpin.
Usai sudah pencarian sumber air dan pembuatan saluran irigasi. Dengan tangan dingin kelima petani prajurit itu lahan pertanian Balaganjar yang tadinya hanya lading, semak-semak dan ilalang telah berubah menjadi pesawahan yang subur, dan orang-orang Babakan Asih juga mulai bercocok tanam di lahan tersebut.
Sumber mata air sampai sekarang masih mengalir deras bahkan di musim kemarau sekalipun. Penduduk Dusun Dukuh Pasir – bagian dari Blok Balaganjar sekarang ini – banyak memanfaatkan mata air tersebut untuk mandi mencuci selain untuk mengairi sawah mereka. Penduduk Kelurahan Cikasarung menyebut mata air tersebut dengan sebutan Cihanja mungkin diambil dari kata honje.
Keberhasilan lima prajurit Mataram semakin membuat penduduk Babakan Asih menaruh hormat dan kagum pada mereka. Mereka sering diajak berembuk dalam segala hal yang menyangkut kepentingan bersama. Rasa hormat dan kagum penduduk Babakan Asih diungkapkan dengan pemberian nama-nama kepada kelima prajurit Mataram tersebut seperti : Ki Ganjar sebutan untuk pimpinan kelima prajurit itu, dan untuk prajurit yang mempunyai sifat cakap dan pintar mereka menyebut Ki Jaksa, dan untuk prajurit yang mempunyai keahlian bercocok tanam palawija mereka menyebutnya Ki Bogor, untuk prajurit yang ahli dalam pengobatan mereka menyebutnya Aki Dukun, sedangkan prajurit yang ahli bangunan Ki Putul, nama tersebut lalu diabadikan oleh warga Kelurahan Cikasarung menjadi sebuah tempat / buyut.
Dengan kedatangan kelima prajurit Mataram tersebut taraf kehidupan Penduduk Babakan Asih ada peningkatan dari sebelumnya, hal itu bisa terlihat dari hasil panen yang melimpah dikarenakan semakin luasnya lahan pertanian yang digarap. Mereka selalu bisa menyimpan hasil panen tiap musimnya, sisa dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Untuk memenuhi kebutuhan mereka menjual hasil pertaniannya ke pasar yang letaknya kurang lebih 15 Km di wilayah Kadipaten sekarang ini dengan cara dipikul melewati hutan belantara. Mereka pergi ke pasar setiap seminggu sekali di hari yang biasa mereka sebut sebagai poe pasar. Dan dari pasar ini pula mereka mendapatkan informasi keadaan di luar Babakan tempat tinggal mereka.
Suatu hari bada isya, sesepuh mengundang kelima prajurit Mataram kerumahnya.
“ Ada apa Ki? Sepertinya penting sekali Aki mengundang kami malam-malam begini.” Tanya Ki Ganjar.
“ Ki Ganjar saya mendengar berita dari tukang kain di pasar bahwa Belanda telah mengetahui rencana Sultan untuk menyerang Batavia dan merekapun telah mengetahui Strategi Sultan yang mengirim prajuritnya untuk membuka lahan pertanian, sekarang ini mereka sedang mencari para prajurit yang menyamar jadi petani. Mereka telah banyak menangkapi dan membakar lumbung-lumbung padi di sekitar Pesisir Pantai Utara Jawa. Saya khawatir keberadaan kalian berlima diketahui oleh mereka, karena itu sebaiknya kalian bersembunyi atau pergi dari Babakan ini.” Jawab sesepuh menjelaskan maksud mengapa dia mengundang kelima prajurit itu secara diam-diam.
“ Kenapa kami harus pergi Ki, bukankah jika tentara Belanda datang kami bisa mengaku sebagai orang Babakan ini?” Tanya Ki Ganjar lagi.
“ Penduduk Babakan Asih sedikit, jadi kalau ada orang asing di sini mudah dikenali, lagi pula logat bicara kalian beda sekali dengan kami, sepintas saja orang bisa bahwa kalian dari Jawa.”
“ Tapi tidak mungkin kan kalau kami saat ini harus kembali ke Mataram tugas kami belum selesai.” Ucap Ki Ganjar.
“ Saya tidak mengusulkan kalian untuk kembali ke Mataram tapi untuk bersembunyi sampai keadaan benar-benar aman.”
“ Bagaimana ini saudara-saudara?” Tanya Ki Ganjar kepada keempat temannya.
“ sebagai prajurit Mataram rasanya tidak pantas kita lari atau bersembunyi dari musuh, bukankah kita juga berbekal senjata?” Jawab Ki Putul.
‘ saya sependapat dengan Ki Putul, kita lawan mereka! Biar harus meregang nyawa kita mati dalam keadaan terhormat. Kita ini sejatinya adalah seorang prajurit ingat itu! Kita bukan hanya petani kita prajurit!” Ki Bogor menimpali dengan berapi-api.
“ Saya rasa itu kurang tepat.” Sanggah Ki Jaksa.
“ Mengapa?!” Tanya Ki Putul dan Ki Bogor hampir berbarengan.
“ Berikan kami alasannya!” Pinta Ki Bogor dengan nada bicara yang sedikit emosional.
“ Karena jika kita melawan, orang-orang Babakan Asih akan kena getahnya.” Ujar Ki Jaksa dengan nada yang datar dan ekspresi.
“ Ya benar, kita tidak mungkin melibatkan apalagi mengorbankan mereka semua. Mereka petani asli tidak seperti kita.” Ki Dukun menambahkan.
“ Lagi pula kita kalah dalam hal kelengkapan senjata dan jumlah prajurit juga kemampuan bertempur, pasti kita kalah total. Keberanian harus tetap ada, tetapi harus memakai akal jangan sampai kita mati konyol.”
“ Apa?! Ki Jaksa menganggap bahwa mati sebagai prajurit di medan perang sebagai sebuah tindakan konyol?” jelas sekali terlihat kekesalan dalam raut muka Ki Bogor.
“ Bukan begitu maksud saya Ki…”
“ Lalu apa?” potongnya cepat.
“ Sudah, sudah yang harus kita utamakan sekarang adalah keselamatan penduduk Babakan Asih, sekaligus tugas kita juga bisa dijalankan. Lagi pula Sultan menugaskan kita bukan untuk berperang tapi menyiapkan lumbung-lumbung padi untuk logistik pasukan di saat nanti menyerang ke Batavia.” Sela Ki Ganjar menengahi .
“ Tapi Ki ganjar, Belanda sudah mengetahui hal tersebut.” Ujar sesepuh mengingatkan.
“ kita harus mencari jalan keluarnya.” Ucap Ki Ganjar. Semua orang terdiam, termenung berpikir keras mencari jalan keluar yang terbaik. Suasanapun hening dan tegang desah daun-daun bambu yang diterpa angina malam semakin membuat malam mencekam.
“ Begini saja.” Ki Ganjar memecahkan kebekuan.
“ Sultan menugaskan kita dan kita tidak boleh menyimpang dari tugas utama sebelum ada perintah lain.”
“ Iya saya tahu tapi maksudnya bagaimana ini?” Tanya sesepuh.
“ maksud saya begini kami berlima akan pindah dari Balaganjar. Kami akan membuka lahan baru secara sembunyi-sembunyi yang jauh dari pemukiman penduduk, jangan sampai ada seorang penduduk yang mengetahuinya dan kami akan membuka lahan secara berpencar supaya tidak mudah dilacak Belanda.” Ki Ganjar menghentikan ucapannya sedangkan kelima orang lainnya terlihat mengangguk angguk sebagai tanda mengerti dan setuju dengan pendapat Ki Ganjar.
“ Saya memerlukan bantuan Aki.” Sambung Ki Ganjar.
“ Apa yang bisa saya bantu?” balas Ki Sesepuh.
“ Besok kami akan pergi ke Bukit sebelah selatan mudah-mudahan di sana di temukan tempat yang cocok.”
“ Lalu apa tugas saya?” Tanya sesepuh.
“Besok pagi-pagi Aki kumpulkan seluruh penduduk yang ada di Babakan Asih kami akan bilang kepada mereka bahwa kami akan berpamitan dengan begitu semua orang akan mengira bahwa kami telah pulangke kampung halaman. Setelah itu Aki berpura-pura mengantar kami, kita berjalan berputar agar mereka tidak tahu bahwa tujuan kita adalah bukit di sebelah Selatan.”
“ Ya… ya saya mengerti.” Ucap sesepuh.
“ Jadi jika suatu hari ada Belanda datang kemari mencari orang-orang Mataram tidak akan ada orang yang tahu. Hal ini baik sekali untuk keamanan orang-orang di sini. Bukankah hanya Aki seorang yang tahu bahwa kami prajurit Mataram?” Tanya Ki Ganjar.
“ Saya jamin itu, Ki.” Ucap sesepuh meyakinkan Ki Ganjar.
“ Dan sekarang, mungpung hari telah malam, tolong KI Putul dan Ki Bogor membereskan persenjataan perang kita, kalian harus membawanya jauh dari sini untuk disembunyikan kalau perlu dikubur saja biar aman. Sedangkan saya dengan Ki Jaksa dan Ki Dukun akan berkemas barang-barang.”
“ Baik, Ki” jawab Ki Putul dan Ki Bogor.
“ Saya rasa pertemuan ini telah selesai, kami mohonn pamit untuk berkemas dan bersiap-siap.” Ki Ganjar pamit kepada sesepuh.
Malam itu juga Ki Ganjar dan teman-temannya sibuk berkemas. Ki Putul dan Ki Bogor terlihat menyelinap keluar rumah menuju sebuah bukit di sebelah timur dengan membawa peralatan perang yang mereka punyai semisal keris, pedang, tameng, panah, dan tombak. Mereka mengubur benda-benda tersebut di puncak Bukit sebelah timut Balaganjar.
Esok harinya setelah berpamitan kepada penduduk Babakan Asih kelima prajurit Mataram di temani sesepuhh Babakan mendaki bukit di sebelah selatan Balaganjar. Mereka menelusuri setiap tempat mencari lahan yang cocok untuk membuka lahan pertanian yang baru. Ternyata bukit itu cukup luas malahan lebih luas dari luas Balaganjar ditambah Babakan Asih.
“ tempat ini cukup subur pepohonannya tumbuh dengan bagus, daerah ini sangat cocok untuk pesawahan.” Ujar Ki Ganjar.
“ Ya, sangat sayang sekali kalau hanya ditanami singkong atau ganyong.” Ki Bogor menambahkan lalu ia berjongkok mengambil segenggam tanah dikepal-kepalnya dan di ciumnya.
“ Tapi untuk dijadikan pesawahan kita membutuhkan pengairan yang baik.” Jelas Ki ganjar.
“ Mudah-mudahan kita menemukan sumber air disini” kata Ki Jaksa.
“ Saya yakin di sini ada sumber air yang cukup, karena kesuburan sebuah tanah tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sebuah air, mereka adalah sepasang sejoli.” Ki Bogor menjelaskan sambil berkelakar.
“ Ah … Ki Bogor bisa saja.” Ujar sesepuh menepuk bahu Ki Bogor, mereka berenam terkekeh ringan.
“ Kita sudah menemukan tanah yang cocok, tugas kita sekarang adalah menemukan sumber air.” Ucap Ki ganjar.
Mereka berenam melanjutkan perjalanan, mereka berjalan terus kearah Tenggara dari tempat mereka berkumpul meneliti tanah. Kurang lebih setengah jam lamanya pencarian akhirnya mereka menemukan sebuah mata air yang cukup besar. Air menyembur dari dalam tanah membentuk kubang seluas kira-kira dua belas meter persegi, dari kubangan tersebut air mengalir menganak sungai kearah barat. Kelima prajurit ditemani sesepuh menelusuri aliran sungai tersebut sambil membersihkan aliran sungai dari semak-semak, sampah dan endapan-endapan lumpur atau gundukan tanah yang menghalangi kelancaran aliran air sungai. Terlihat mereka bekerja begitu bersemangat sambil bernyanyi ringan sekenanya diselingi dengan gurauan-gurauan, samapi disuatu tempat aliran sungai. Itu terlihat aneh. Semestinya aliran besar mengalir searah dengan sungai lajimnya kea rah barat, akan tetapi ini malah sebaliknya sebagia besar aliran air itu berbelok kesebelah utara dan hanya sebagian kecil yang mengalir kearah barat, itula yantg merupaka suatu keanehan.
“Cai kasarung! “ seru sesepuh
“ Heran?”
“ Heran?” seru kelima prajurit mataram.
“Saya baru tahu bahwa du bukit ini ada cai kasarung. Harusnya sungai ini mengalir kearah barat, ini malah belok kea rah utara sedangkan air yang mengalir kea rah Barat justru sedikit ( cai leutik ), Sesepuh terdengar berguman ia tak bisa menyembunyikan keharanannya. Ternyata aliran air tidak terus mengalir mengalir ke Utara tapi melingkar kea rah Timur berlawanan dengan aliran sungai induknya ( cai kasarung ).
Sejak saat itu sungai itu disebut lebak Cikasarung sedangkan aliran sungai yang berbelok ke kanan lalu melingkar ke arah Timur disebut lebak eran – di ambil dari kata heran dan aliran sungai yang terus mengalir ke arah Barat disebut lebak cileutik.
Akhirnya ki Ganjar memutuskan bahwa ia akan membuka pesawahan di tempat pertama kali mereka meneliti tanah sedangkan ia akan menetap di sebrang ( peuntas ) sebelah Utara sawah garapannya tepatnya dipuncak bukit sebelah selatan Balaganjar.
Dengan tujuan agar ia dapat memantau kedatangan Belanda bila sewaktu – waktu ke Balaganjar. Di tempat Kiganjar memebuka pesawahan itulah berdiri balai Kelurahan Cikasarung sekarang ini sedangkan sawah yang digarap di seberangnya disebut swah peuntas.
Ki Jaksa membuat saung tempat tinggalnya di pinggiran Sungai Cikasarung agak ke hulu sebelah teenggara sawah garapan Ki Ganjar dengan tugas menjaga mata air kelak yang menjadi sumber air sungai Cikasarung. Sampai sekarang sawah garapannya itu disebut Sawah Jaksa.
Ki Putul berdiam tepat di belokan sungai Cikasarung, Eran dan Cileutik, ia bertugas mengolah tanah merah(beureum) di sekitarnya. Dan sawah garapannya disebut Sawah Keusik dan Sawah Beurem.
Sedangkan Ki Dukun ditugaskan untuk membuka huma-sawah tadah hujan agar jauh dari aliran sungai yaitu sebelah barat sawah peuntas. Di tempat tersebut Ki Dukun mulai ngabeubeura (membuka ladang) itulah terdapat sawah Bebera dan Bebera Kiai sekarang ini. Selain itu menemukan sungai kecil yang berhulu di rumpun bambu Tamiang, maka daerah itu dinamakan Lebak Tamiang. Adapun tempat ia membangun saung tempat tinggalnya disebut leuweung Aki Dukun, tepatnya saung itu didirikan cukup jauh dari ladang pertama yang ia buka sebelumnya.
Lain lagi dengan Ki Bogor ditempatkan diujung Barat Kelurahan Cikasarung saat ini lebih jauh dari Ki Dukun. Ki Bogor ditugaskan untuk membuka perkebunan di hutan tersebut seperti kebun singkong, talas, ganyong dan buah-buahan. Di samping berhuma hanya Ki Dukun selain itu Ki Bogor pun bertugas untuk menjaga dan memelihara pepohonan seperti jati, kihujan, jengjing, kihiang dan lain-lainnya yang berada di hutan tersebut. Di sebelah utara, ditempat tinggalnya ia menemukan sebuah mata air, Ki bogor pun membendungnnya sehingga menjadi sebuah sumur disebutlah mata air itu dengan sebutan sumur bendung, namun karena latahnya lidah orang-orang saat ini penduduk cikasarung menyebutnya sumur bandung dan Ki Bogor juga menemukan mata air yang keluar dari semak-semak pohon dadap maka diberi nama lah daerah sekitarnya dengan sebutan Cidadap.
Keahlian kelima prajurit mataram itu dalam hal bertani memang sangat mengagumkan sampai sekarang tempat-tempat tersebut menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif di Kelurahan Cikasarung terutama sawah jaksa, sawah pentas, sawah kesik dan sawah balaganjar. Sedangkan daerah lingkungan sungai Cikasarung dengan sungai eran menjadi pusat Kelurahan Cikasarung.
Namun akhir dari keberadaan kelima prajurit mataram tersebut tidak diketahui dengan jelas ada yang beranggapan bahwa mereka ngahiang menghilang begitu saja tanpa bekas dikarenakan kesaktian mereka yang sangat tinggi ada juga yang beranggapan bahwa mereka pergi ke Batavia bergabung dengan pasukan mataram untuk berperang melawan penjajah Belanda. Untuk menghormati jasa-jasa mereka penduduk terus memelihara peninggalan-peninggalan mereka berupa sawah, ladang dan kebun dengan cara menggarapnya dengan baik, juga memelihara mata air-mata air dan saluran irigasi yang mereka buat. Umumnya masyarakat pedesaan mereka pun membuat peti patilasan-patilasan yang disebut buyut di atas saung-saung tempat ke lima prajurit Mataram tersebut menetap, seperti: Buyut Ganjar, Buyut Jaksa, Buyut Putul, Buyut Aki Dukun dan Buyut Bogor. Adapun tempat dikuburnya senjata-senjata pusaka mereka disebut buyut kramat dan tempat tinggal orang yang diberi tugas untuk menjaga setiap (saban) matahari tenggelam sampai matahari terbit disebut Buyut Saban.
Begitulah berita asal mula Kelurahan Cikasarung lazimnya sebuah legenda kebenaran ceritanya sangat sulit dibuktikan.
Kerajaan Sindangkasih di Majalengka, benarkah ada?
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah buku yang cukup menarik. Sebenarnya buku tersebut merupakan terbitan lama, sebaya dengan umur saya sekarang. Faktor keterbatasan dan ketidaktahuanlah yang menyebabkan saya baru bisa menemukan dan membaca buku tersebut setelah beberapa lama. Buku tersebut ditulis oleh seorang kelahiran Cirebon, sekitar tahun 1983. buku tersebut bercerita tentang sejarah Kerajaan Cerbon (buku tersebut menyebutnya demikian), terutama pasca Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah memimpin kerajaan tersebut.
Dalam buku Kerajaan Cerbon tersebut diceritakan beberapa hal yang mungkin menurut saya bisa merubah sejarah atau bahkan menghilangkan sama sekali Kerajaan Sindangkasih yang konon pernah ada di Majalengka.
Dari beberapa informasi yang saya dapat sebelumnya, bahwa pada zaman sebelum Islam masuk ke Majalengka, terdapat sebuah kerajaan bernama Sindangkasih yang berada di daerah Sindangkasih, Majalengka dan dipimpin oleh ratu bernama Nyi Rambut Kasih. Entah benar atau tidak, yang jelas bila kita mengakses situs Bappeda-Majalengka maka akan diceritakan kisah keberadaan kerajaan tersebut, sama seperti yang saya terima selama 15 tahun terakhir. Ringkasnya keberadaan Kerajaan Sindangkasih tersebut lalu kalah oleh pengaruh Islam dari Kerajaan Cerbon.
Yang menjadi pertanyaan setelah saya membaca buku tersebut ialah, penulis yaitu Unang Sunardjo, S.H menyangkal bahwa Kerajaan Sindangkasih tersebut berada di daerah Majalengka, tetapi terletak di daerah yang namanya sama Sindangkasih di daerah Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Menurut buku tersebut, daerah Sindangkasih merupakan hadiah dari ayah Nhay Ambet Kasih (mungkin Nyi Rambut Kasih), yaitu Ki Gedeng Sedhang Kasih setelah Nhay Ambet Kasih menikah dengan Raden Pamanah Rasa, yang kelak dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sindang Kasih tersebut tak lebih merupakan bagian dari Nagari Surantaka pimpinan Ki Gedeng Sedhang Kasih, yang merupakan pecahan dari daerah otonom di bawah Kerajaan Galuh yang bernama Wanagiri Besar. Karena sesuatu hal, Wanagiri Besar tersebut, menjadi pecah dan terbagi dalam beberapa nagari, termasuk Nagari Surantaka.
Tentunya patut ditelusuri kebenaran pendapat tersebut, karena saya pribadi merasa bahwa pelurusan sejarah merupakan hal penting. Meski telah beribu-ribu tahun ditelan masa, tetapi pelurusan sejarah menjadi perlu ketika kebutuhan untuk menyadari identitas diri menjadi sangat urgen.
Meski tidak sepenuhnya menyalahkan pendapat tersebut, tetapi bila ditanyakan argumen untuk mendukung kebenaran bahwa Kerajaan Sindangkasih memang benar-benar di daerah Majalengka, saya juga kebingungan untuk mencari bukti. Tidak ada patilasan atau dokumen-dokumen sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sindangkasih di Majalengka tersebut. Setidaknya sampai sekarang saya belum menemukan dan berhasil mengetahui sisa-sisa peradaban Kerajaan Sindangkasih di Majalengka. Lebih lanjut, buku tersebut hanya mengakui keberadaan Kerajaan Talaga Manggung (yang berpusat di Kec. Talaga sekarang), yang kemudian juga tertundukkan oleh Kerajaan Islam Cerbon. Di Majalengka sendiri, sepertinya pada waktu itu belum ada peradaban, karena tidak pernah disinggung sama sekali hubungan diplomatik atau sejenisnya dengan Kerajaan Cerbon. Kalaupun ada, hanya daerah Rajagaluh yang pernah disebutkan sebagai salah satu daerah ”sampingan” dari Kerajaan Cerbon.
Sehingga mana yang benar dan mana yang salah, belum dapat saya ketahui. Satu hal yang pasti, kita memerlukan argumen sejarah dan dokumen peninggalan yang tersisa untuk membuktikan bahwa memang pernah berdiri Kerajaan Sindangkasih di Majalengka. Tugas siapa?, tentunya kita semua untuk lebih mengenal cikal-bakal peradaban dan nenek moyang kita sendiri. Bersediakah kita?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar