Selasa, 22 Maret 2016

SEJARAH JATIWANGI [untuk kebenarannya wallahu alam]

Sejarah Jatiwangi
Suatu kisah yang menceritakan negeri Jatiwangi yang dulunya masih dinamakan negeri Wanayasa, di negeri itu terdapat sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Wanayasa. Kerajaan tersebut dipimpin oleh “Arya Jiteng Jatisawara”, beliau mempunyai seorang permainsuri bernama Dewi Basrini, dari perkawinannya mereka dikaruniai dua orang putra yakni:Putra pertama diberi nama Rd.Anggara Suta, sedangkan putra kedua diberi nama Rd.Solihin. Di dalam kerajaan Wanayasa dibantu oleh lima irang utusan (Patih) diantaranya:
Patih pertama bernama,Buyut Dopang Karanginan, yang berasal dari Bantar Jati (makam beliau berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Ranjeng).
Patih ke dua bernama, Arya Pakalipan (makam beliau berada di tanah Jatisura, yang sekarang disebut sebagai Buyut Ranto).
Patih ketiga bernama, Narta Wangsa yang berasal dari kerajaan Mataram dengan membawa Simbol Siliwangi (makamnya berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Nambang / Ngalambang ).
Patih Keempat bernama Grena Sena (makamnya berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang di sebut sebagai Buyut Lurah / Bungur).
Patih ke lima bernama Nyimas Ratu Ayu Nawang Litra yang berasal dari Talaga (makamnya berada di tanah Jatiwangi yang sekarang disebut sebagai Buyut Kopo).
Kerajaan Wanayasa yang letaknya berada disebalah utara wilayah Majalengka (sekarang) terkenal cukup makmur tidak kurang sandang pangan. Sedang wilayah Majalengka sebelum diubah dulunya, dinamakan Daerah Sindang Kasih, di Daerah ini sebagai pimpinannya adalah seorang Bupati yang bernama Pangeran Muhamad.
Pada suatu hari ada seorang musafir yang singgah di daerah ini, mereka bernama Candi Maya dari Wanayasa yang ingin ikut bersama orang-orang Islam di Sindangkasih, dan orang-orang islam di dearah tersebut dipimpin oleh :
Panembahan Wirabawa
Ki Ageng Badori
Patih Wirajaya
Sebagai panglima perang daerah Sindangkasih benama Patih Wijaya, mereka mengajak Candi Maya untuk bersatu, guna menghancurkan kerajaan di Wanayasa. Maka tidak lama kemudian, terjadilah peperangan antara Sindangkasih dengan kerajaan Wanayasa, dalam sebuah peperangan tidak dapat diceriterakan, yang kemudian akhirnya Kerajaan Wanayasa dapat dihancurkan oleh Sindangkasih. Kemudian Raja Wanayasa yang bernama Arya Jiteng Jatisawara, hilang ke alas Sindangkasih dengan membawa “Gada Pusaka” yang diberi nama Wikulit Pangpangindahan Godong. Gada tersebut dibawa-nya ke sebuah alas, Lalu diletakkannya dibawah pohon Maja.
PATAPAAN TARI KOLOT
Setelah hancurnya Kerajaan Wanayasa, Pangeran Lontang Jaya yang berasal dari keturunan Daeng Mataram, mendirikan sebuah pertapaan yang dinamakan Pertapaan Tari Kolot (bekas Pertapaan Tari Kolot kini dinamakan Buyut Subang yang sekarang berada di tanah Surawangi). Pada waktu itu di Patapaan Tari Kolot, sedang bermusyawarah untuk memberi tahu kepada orang-orang pertapaan Tari Kolot, jangan sampai ikut memusuhi Daerah Sindangkasih, ketika sedang bermusyawarah, tiba-tiba datang beberapa tamu, mereka berasal dari daerah Tegal Jambu, diataranya Rd. Anggana Suta, Rd. Solihin serta ibunya Dewi Basrini.
Kehadiran mereka di petapaan Tari Kolot, tidak lain hanya untuk melaporkan kepada Pangeran Lontang Jaya bahwa di Tegal Jambu telah kedatangan seorang tamu yang bernama Ki Bagus Rangin dari Bantarjati, beliau minta bantuan kepada Tegal Jambu, sehubungan orang-orang Bantarjati ditantang oleh Dalem Sumedang, yakni Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang (Pangeran Cornel). Dalem Sumedang mendirikan sebuah perkemahan yang terletak di Kosambian. Pangeran Surya dilaga pada waktu itu terkenal dengan se-ekor kudanya yang sangat sakti, yang diberi nama “Andra Wuluh”. Kuda itu sangat ampuh tidak mempan dengan pedang, sekalipun hasil kikiran gurinda. Dalam perkemahan di kosambian dibantu oleh para senopati, diantaranya:
Embah Parung Jaya
Embah Kondang Hapa
Embah Sayang Hawu
Embah Terong Peot
Pangeran Kawilalan
Pangeran Cipta Wira
Para senopati tersebut disultani oleh Pangeran Suryadiwangsa.
TARI KOLOT
Dipertapaan Tari Kolot, pangeran Lontang Jaya setelah mendengar laporan dari orang-orang Tegal Jambu, beliau sangat gembira sekali, bahwa Ki Bagus Rangin telah meminta bantuan mereka, kemudian Pangeran Lontang Jaya memberi amanat kepada salah satu dari mereka, yakni Rd. Anggana Suta, bahwa nanti dalam peperangan menghadapi dalem Sumedang yang dipimpin Pangeran Surya Dilaga, hendaknya menunggangi se-ekor kuda peninggalan kerajaan Wanayasa yang telah hancur pada peperangan melawan Sindangkasih. Kuda peninggalan kerajaan wanayasa terkenal sakti, ampuh dan kuat, yang diberi nama “Bujang sangara”. Kemudian Pangeran Lontang Jaya, memerintahkan Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin untuk segara berangkat, dengan dibekali keris pusaka yang diebri nama Si Kober atau Si Conet Turangga Rendana, namun sebelum berangkat ke Monjot tempat dimana akan digunakan peperangan antara Bantarjati dengan Sumedang. Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin diperintahkan oleh Pangeran Lontang Jaya untuk menelusuri dahulu sebuah alas Sindang Kasih, dimana tempat itu terdapat sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa yang dibawa hilang ke alas tersebut dan kemudian diletakkannya di bawah pohon Maja. Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin berangkat menuju timur barat dari pertapaan tari Kolong, dengan menunggangi se-ekor kuda peninggalan ayahnya, yang diberi nama Bujang Sangara.
Namun sesampainya di Oncog Dangoh, bertemu dengan orang-orang Marta Singa, yakni :
Rd. Arya Tinkin
Rd. Tejar Wilar
Pangeran Wira Kesumah
Pangeran Wira Kesumah adalah orang Luragung, putranya Ki Ageng Cipta Rasa, bertemu dengan Rd. Anggana Suta, lalu bertanya : “Hei kesatria……! berasal dari mana, dan mau kemana menunggangi se-ekor kuda?”. Kemudian Rd. Anggana Suta menjawab : “Kami sebenarnya orang Wanayasa, yang hendak mengambil pusaka di alas Sindang Kasih”.
Begitu mendengar jawaban dari Rd. Anggana Suta, bahwa Mereka orang Wanayasa, pangeran Wira Kesumah, Arya Tinkin dan Tejar Wilar sangat marah, karena menurut kerajaan Wanayasa adalah musuh Cirebon, maka terjadilah peperangan di Oncog Dangoh. Dalam sebuah peperangan meraka saling mengadu kekuatan, namun Rd. Anggana Suta berkat tunggangan kudanya yang sakti, akhirnya orang-orang Marta Singa kocar-kacir oleh amukan Rd. Anggana suta, salah satu dari mereka, yakni Rd. Arya Tinkin ditendang oleh Kuda Bujang Sangara, sampai melayang lalu jatuh di Pasir Kembang (yang sekarang di sebut Leuweung Gede).
Setelah mengadakan peperangan di Oncog Dangoh Rd. Anggana Suta meminta kepada adiknya Rd. Solihin, agar tidak mengikuti perjalanannya ke alas Sindang Kasih, dan diperintahkannya untuk menuju ke Monjot supaya bersatu dengan orang-orang Bantarjati yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin. Dengan sangat terpaksa Rd. Solihin berangkat sendiri sambil menangis dalam hatinya, karena perjalanan dari Oncog Dangoh ke Monjot cukup jauh.
Sesampainya di Monjot, kemudian Rd. solihin bersatu dengan orang-orang Bantarjati, lalu menceriterakan kepada para senopati bahwa kakaknya yang bernama Rd. Anggana Suta, sedang berangkat menuju ke sebuah alas Sindang Kasih. Adapun para senopati dari Bantarjati yang sudah ada di Monjot diantaranya :
Ki Bagus Daisah
Ki Bagus Merat
Ki Bagus sena
Ki Bagus Lejah
Ki Bagus Kondur
Ki Bagus Tarti
Ki Bagus Maryem
Ki Bagus Nairem
Ki Bagus Udung
Ki Bagus Arsitem
Ki Bagus Yasa
Ki Ageng Ciputih
Para Senopati dari Bantarjati ini sedang menunggu kedatangan Rd. Anggana Suta, yang akan membantu peperangan nanti melawan Dalem Sumedang.
Alas Sindangkasih
Disuatu tempat di Alas Sindangkasih di Pohon Maja, Rd. Anggana Suta sudah tiba guna mencari pusaka peninggalan ayahnya, memang benar apa yang diceriterakan oleh Pangeran Lontang Jaya bahwa pusaka tersebut berada di bawah Pohon Maja, secara kebetulan Pohon Maja itu mempunyai satu biji buah, kemudian Rd. Anggana Suta mengambil pusaka, serta memetik buah Maja itu.
Berkenaan dengan itu datang segerombolan pasukan kuda, yakni, pasukan dari Sindangkasih yang dipimpi oleh Panembahan Wirabama dan Ki Ageng badori guna mencari buah Maja. Nampaknya buah Maja yang dicari sudah berada ditangan seorang satria yakni Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta tidak memberikannya karena menurutnya mereka ini adalah orang-orang Sindangkasih, yang pada waktu dulu telah menghancurkan Kerajaan Wanayasa, maka dari pada memberikan buah Maja Rd. Anggana Suta menantang perang, yang kemudian terjadilah peperangan di alas Sindangkasih.
Dalam peperangan Rd. Anggana Suta tidak terlepas dari tunggangannya se-ekor kuda bernama Bujang Sangara, lalu keris pusaka pemberian Pangeran Lontang Jaya digunakannya, untuk menghantam pasukan dari Sindangkasih, akhirnya Rd. Anggana Suta berhasil mematahkan pasukan tersebut, bahkan menurut ceritera Ki Ageng Badori ditendang oleh kaki kuda Bujang Sangara yang ditunggangi oleh Rd. Anggana Suta, sampai melayang entah kemana.
Diceriterakan di sebuah tempat di pinggir Sungai Cimanuk, ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata mereka adalah Dewi Sekar Taji yang berasal dari Kutamanggu melakukan tapa brata tidak lain ingin masuk Agama Islam.
Di suatu saat ada wahyu yang menyatakan kepada Dewi Sekar Taji bahwa tapa brata bisa selesai jika sudah ada orang jatuh disampingnya, rupanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Agung, yang pada akhirnya wahyu itu menjadi kenyataan Ki Ageng Badori yang di tendang oleh kuda Bujang Sangara, sewaktu peperangan di Alas Sindangkasih jatuh di pinggir Sungai Cimanuk tepat di samping Dewi Sekar Taji, yang sedang melakukan tapa brata.
Mendengar suara orang jatuh, kemudian Dewi Sekar Taji membuka matanya, ternyata benar yang jatuh di sampingnya adalah seorang senopati, begitu pula sebaliknya Ki Ageng Badori pun terkejut melihat ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata sampai rambutnya kusut dan pakaiannya compang-camping.
Ki Ageng Badori lalu mengajak pada Dewi Sekar Taji, namun Dewi Sekar Taji menolaknya, karena keinginannya untuk mempelajari Agama Islam belum terkabulkan, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Ki Ageng Badori, keinginan Dewi Sekar Taji disanggupinya, namun Ki Ageng Badori meminta sebuah syarat untuk dilaksanakan oleh Dewi Sekar Taji, yaitu harus bisa mengambil Buah Maja yang ada di Alas Sindangkasih, Dewi Sekar Taji pun menyanggupi syarat itu, kemudian Dewi Sekar Taji pamit untuk menuju ke sebuah alas.
Sesampainya di Alas Sindangkasih, bertemu dengan seorang satria, yang bernama Rd. Anggana Suta, kemudian Dewi Sekar Taji meminta bantuan Rd. Anggana Suta mencari buah Maja.
Rd. Anggana Suta melihat seorang wanita seorang wanita yang rambutnya kusut dengan pakaian yang sudah compang-camping, nampaknya sangat tertarik, karena wajah Dewi Sekar Taji walaupun keadaan demikian masih kelihatan cantik, sampai – sampai hati Rd. Anggana Suta merasa jatuh cinta kepadanya. Kemudian Rd. Anggana Suta menyerahkan buah Maja yang sudah berada ditangannya.
Betapa gembiranya perasaan hati Dewi Sekar Taji setelah mendapatkan buah Maja, dengan sangat berterima kasih kepada seorang kesatria yang gagah, arief serta bijaksana. Kemudian Dewi Sekar Taji pamit kepada Rd. Anggana Suta untuk meninggalkan Alas Sindangkasih dengan membawa buah Maja, begitu juga halnya dengan Rd. Anggana Suta, keluar meninggalkan Alas itu, untuk meneruskan perjalanannya menuju daerah Monjot guna membantu orang-orang Bantarjati yang akan berperang melawan Dalem Sumedang.
Dewi Sekar Taji setelah berhasil membawa buah Maja, kemudian menemui Ki Ageng Badori yang sedang menunggunya setelah keduanya bertemu, kemudian Ki Ageng Badori mengajak untuk menghadap Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih). Sesampainya di pendopo nampak para senopati Sindangkasih sedang berkumpul, kemudian Dewi Sekar Taji menyerahkan buah Maja untuk dijadikan obat istri Bupati Sindangkasih (Siti Armilah) yang sedang sakit. Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih) merasa bangga dan berterima kasih kepada Dewi Sekar Taji terutama kepada Rd. Anggana Suta (Putra Kerajaan Wanayasa) yang telah menolongnya mendapatkan buah Maja.
Kemudian buah Maja itu di obatkan kepada istri Bupati (Siti Armilah) rupanya sudah menjadi kekuasaan-Nya begitu buah Maja di obatkan, Siti Armilah mendadak sembuh dari sakitnya yang sudah beberapa bulan dideritanya, betapa gembiranya Pangeran Muhamad (Bupati) melihat istrinya sudah sembuh, kemudian Pangeran Muhamad mengucapkan janji, bahwa di akhir peperangan Rd. Anggana Suta akan di ubah namanya dengan sebutan Ki Bagus Manuk, dan wilayah Wanayasa yang beberapa lama telah dikuasainya akan diserahkan kembali kepadanya.
Buah Maja yang telah dipakai obat, kemudian diserahkan kepada salah seorang senopati yakni Panembahan Wirabama, namun ketika hendak diterima tiba-tiba buah Maja itu jatuh ke tanah lalu menghilang seketika, melihat kejadian itu Panembahan Wirabama merasa heran dan malu, akhirnya Panembahan Wirabama pun ikut menghilang.
Melihat kejadian yang semakin mengherankan, Ki Ageng Badori mempunyai firasat, bahwa besek atau lusa setelah hilangnya masa kerajaan, nama Sindangkasih kelak akan dirubah dengan sebutan Majalengka.
Perubahan ini diambil dari suatu kejadian Buah Maja yang hilang, yaitu kata: “MAJA” diambil dari nama buah “Maja”, sedangkan “LENGKA” karena hilangnya tidak ditemukan (langka) maka sampai sekarang daerah tersebut dinamakan: MAJALENGKA
Tanah Monjot
Keadaan di tanah Monjot sedang terjadi perang campur antara Dalem Sumedang dengan Dalem Bantarjati, yang mana Bantarjati di bantu oleh Tegal Jambu, konon menurut ceritera peperangan di tanah Monjot memakan waktu ± 6 bulan, para senopati dari keduanya sudah banyak yang gugur, adapun para senopati dari Bantarjati yang telah gugur diantaranya :
Ki Bagus Nariem
Ki Bagus Tarti
Ki Bagus Udung
Ki bagus Rantiu
Ki Bagus Solihin (Rd. Solihin)
Ki bagus Solihin kemudian dimakamkan dipinggir sungai Cimanuk, yang sekarang dikenal dengan sebutan “Buyut Jago”. Rd. Anggana Suta begitu melihat keadaan sudah semakin buruk dengan telah banyaknya para senopati yang gugur, kemudian maju meladeni Pangeran Surya Dilaga, sambil menunggangi Kuda Bujang Sangara, begitu juga sebaliknya Pangeran Surya Dilaga-pun menunggangi Kuda Sandra Wuluh, akhirnya terjadi perang Patutunggalan, antara Rd. Anggana Suta melawan Pangeran Surya Dilaga.
Perang antara keduanya sama-sama kuat, sama-sama sakti, namun diantara salah satu dari mereka, akhirnya ada yang terdesak hingga ke tatar kaler tanah Monjot, kemudian Rd. Anggana Suta dengan kudanya meloncat kesebuah sungai Cimanuk sambil menggunakan tenaga dalamnya, untuk meringankan tubuhnya, sehingga jalan disungaipun tidak basah.
Kemudian Rd. Anggana Suta menarik Pangeran Surya Dilaga hingga terjatuh dari kudanya, lalu kuda itu di pukul oleh Rd. Anggana Suta dengan Gada Pusaka peninggalan ayahnya, kemudian kuda Pangeran Surya Dilaga lari kea rah selatan, sampai di Karanganyar, lalu kuda itu mati di daerah tersebut, dan sampai sekarang daerah itu dinamakan Daerah Kuda Mati.
Pangeran Surya Dilaga (Bupati Sumedang) atau yang disebut Pangeran Cornel, setelah terlepas dari tunggangannya hampir tidak berdaya, ketika hendak dipukul oleh Gada Pusaka yang dibawa oleh Rd. Anggana Suta, kemudian Pangeran Surya Dilaga menyerah, dengan berjanji akan menyerahkan Tanah Sabandar,yang tadinya diakui sebagai wilayah Sumedang.
Setelah usai peperangan dan telah dibuatnya perjanjian, akhirnya para pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, namun Rd. Anggana Suta berangkat menuju kepertapaan Tari Kolot.
Pangeran Lontang Jaya pada waktu itu sedang menanam buah Pohon Jati di pinggiran pertapaan Tari Kolot, namun yang hidup hanya satu, (yang sampai sekarang berada dipinggir Buyut Subang, Desa Surawangi).
Berkenaan dengan itu para senopati di Tari Kolot, sedang bermusyawarah (merbayaksa) tidak lama kemudian datang seorang kesatria, yakni : Rd. Anggana Suata, mereka sengaja datang untuk menemui Pangeran Lontang Jaya, dengan tujuan untuk memberitahu, bahwa peperangan di tanah Monjot telah selesai, dan Dalem Sumedang yang di pimpin Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang Pangeran Cornel, telah dapat dipatahkan / dikalahkan.
Betapa sangat gembiranya Pangeran Lontang Jaya mendengar keterangan dari Rd. Anggana Suta, Kemudian Pangeran Lontang Jaya berjanji akan mengangkat Rd. Anggana Suta untuk dijadikan penguasa di daerah Wanayasa, secara kebetulan Dalem Sumedang mengirim sepucuk surat kepada Patapaan Tari Kolot untuk di sampaikan kepada Rd. Anggana Suta bahwa daerah Wanayasa yang telah beberapa tahun dikuasai oleh Sumedang akan dikembalikannya, berkenaan dengan itu pula Dalem Bantarjati yang dipimpin Ki Bagus Rangin, juga mengirim sepucuk surat, bahwa Bantarjati akan tetap mengaku saudara (keluarga) bahkan Ki Bagus Rangin akan merubah nama Rd. Anggana Suta menjadi Ki Bagus Manuk.
Perubahan nama itu, karena keajaibannya sewaktu peperangan di Monjot, Rd. Anggana Suta bisa menyusuri sungai Cimanuk tanpa basah sedikitpun.
Pangeran Lontang Jaya setelah membaca keterangan dua buah pucuk surat itu, lalu tergugah dalam hatinya bahwa : besok atau lusa nama Wanayasa pun akan dirubah menjadi Jatiwangi, perubahan itu diambil dari sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa, yang terbuat dari Pohon Jati, namun jati itu mempunyai keanehan karena berbeda dengan jati-jati yang lainnya, jati itu mempunyai keharuman tersendiri, maka dapat disimpulkan bahwa kata : JATI diambil dari Pohon Jati, sedangkan WANGI, kerana keharumannya, maka sampai sekarang daerah ini dinamakan : JATIWANGI. Cag !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar