SEJARAH TENJOLAYAR
Berdasarkan cerita rakyat (legenda) Desa Tenjolayar mempunyai rangkaian sejarah dengan beberapa desa lain di sekitarnya, seperti Desa Manjeti dan Cigasong. Daerah ini diperkirakan zaman dahulu merupakan bagian dari kawasan yang dekat dengan Laut Jawa.
Menurut keterangan Aki Emen (sesepuh), zaman dahulu ada dua orang Kiyai bersaudara asal Cirebon bernama Embah Karsijah dan Embah Kawung Poek. Kedua orang ini tidak rukun dalam kehidupannya, apalagi Kawung Poek mempunyai sifat tamak akan kekuasaan. Berdasarkan kejadian tersebut, Embah Karsijah minta tolong kepada Embah Karim saudara mereka. Sehingga persengketaan dapat diselesaikan oleh Kiyai Karim dengan keputusan, bahwa daerah kekuasaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1.Daerah sebelah timur (sekarang Desa Tenjolayar) dikuasai oleh Embah Karsijah.
2.Sebagian besar wilayah Cigasong dikuasai oleh Embah Kawung Poek.
Berdirinya Desa Tenjolayar sekira tahun 1905 atas ajuan tokoh masyarakat kepada Kanjeng Dalem (bupati Majalengka saat itu). Agar tempat ini menjadi sebuah desa, Kanjeng Dalem meminta agar terlebih dahulu didirikan Sekolah ngadapang (Sunda, tengkurap di atas lantai/tanah). Di lokasi sekolah ngadapang tersebut sekarang berdiri Sekolah Dasar Negeri Tenjolayar 1.
Asal kata Tenjolayar sendiri terdiri dari dua suku kata yakni Tenjo yang berarti melihat dan Layar yang berarti layar perahu. Menurut keterangan masyarakat kata Tenjolayar berarti melihat layar, arti ini dapat dibuktikan dengan adanya suatu tempat di Tenjolayar yang bernama Pesanggrahan. Konon tempat tersebut adalah tempat istirahat Ratu Majalengka. Dari tempat ini kita dapat melihat ke arah pantai Cirebon.
Putra Galuh yang sedang akan mengambil ikan senggal tadi, tetapi dengan jilat ikan senggal menyambar tenggorokan Putra Galuh. Setelah menyambar tenggorokan putra galuh ikan senggal itu menghilang. Putra Galuh itu kemudian di bawa langsung ke Rajagaluh. Setelah sampai di Keraton Rajagaluh beberapa waktu kemudian Putra Galuh meninggal dunia.
Sebelum azalnya tiba mengucapkan yang berbunyi “Apabila orang Trajutisna kawin dengan orang Rajagaluh maka di antara mereka tidak umurnya atau tidak jodohnya.” Kemudian setelah kejadian itu Desa Trajutisna dinamakan desanya menjadi Desa Parakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar