Jumat, 25 Maret 2016



DESA KADIPATEN

Desa Kadipaten pada awalnya merupakan Desa Liangjulang yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Demang Karangsambung. Desa ini dahulu dinamakan Blok Jatiraga dipimpin oleh seorang tokoh yang ikut dalam penentuan otonomi Liangjulang dari Karangsambung. Tokoh tersebut bernama Mbah Buyut Sipah. 

Jatiraga kehilangan pimpinannya ketika pada tahun 1842, Mbah Buyut Sipah meninggal. Ia dimakamkan di Liangjulang. Makamnya kini dinamakan pasarean Mbah Buyut Sipah. Situsnya menjadi makan kramat. Sepeninggal Mbah Buyut Sipah, kantor pemerintahan yang semula di Blok Liangjulang kemudian dipindahkan ke Blok Jatiraga atas hasil musyawarah sesepuh desa dengan Demang Karangsambung. 

Sebagai simbol atas perpindahan pusat pemerintahan Lingjulang, Demang Karasambung mengadakan pesta rakyat berupa acara penghanyutan sebatang pohon jati. Upacara itu simbol seorang pemimpin yang disegani telah pergi untuk selamanya. Batang pohon jati dinaikan di atas rakit lalu rakit tersebut dihanyutkan di sungai Cilutung dari Liangjulang. Penghanyutan berhasil. Batang pohon jati itu diterima oleh Mbah Purajati dan Mbah Buyut Wirajati. Mereka adalah saudara kembar. Tempat diterimanya batang pohon jati di sekitar Babakan yang kelak disebut Cikembar. 
Sekarang daerah itu dinamakan Babakan Cikempar. Setelah meninggalnya dua tokoh Jatiraga itu, situasi dan kondisi desa Liangjulang (Jatiraga) tidak banyak berubah, makam kedua tokoh tersebut dinamakan pasarean Embah Buyut Cikempar. Sebelum meninggal, kedua tokoh tersebut sempat mengadakan acara ritual dengan mengarak sebatang pohon jati mengelilingi alun-alun Jatiraga sebagai "ibukota" desa Liangjulang. 

Acara itu dimeriahkan dengan pertunjukan kesenian Dog-dog, angklung, bende, dll. Batang pohon jati tersebut kemudian dikawinkan dengan pohon jati yang masih hidup. Mereka melakukan proses perkawinan silang pohon jati sambil membaca do'a memohon perlindungan kepada Tuhan agar masyarakat dan para pemimpinnya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Penamaan Jatiraga sendiri berasal dari proses ritual. Jatiraga mengandung arti "Raga Jati" atau "batang pohon jati". 
Sejak tahun 1842, Jatiraga berada di bawah kepemimpinan Kuwu Liangjulang (lihat tulisan tentang Desa Liangjulang) setelah diresmikan menjadi desa definitif sebagai desa Kadipaten pada tahun 1951. Kuwu Desa Liangjulang tetap dijabat oleh E. Enjang. 
Sementera Desa Kadipaten dipersiapkan untuk memiliki figur pimpinan. Baru pada tahun 1954, Desa Kadipaten memiliki kuwu pertama bernama Barhawi. Setelah dua tahun menjabat kuwu, Bahrawi digantikan oleh R.P Wiraatmaja yang pernah menjadi kuwu di Desa Liangjulang tahun 1949 - 1950. Pengganti R.P. Wiraatmaja, S. Prayitno hanya dua tahun memimpin karena terlibat G - 30 - S - PKI. S. Prayitno digantikan oleh Moch. Nakim (1965 - 1967), Ito Sasmita (1967 - 1970), Moch. Nakim (1970 - 1971), H.M. Ida Mulya (1971 1984), Machfud (1984 - 1993), Didi Tjahyadi (1993 - 1994), Machfud (1994 - 2002), dan Arnayo (2002 - Hingga terakhir buku ini disusun). 

Pada masa kolonialisme Belanda, wilayah desa Kadipaten pernah dijadikan lahan pembantaian (killing field). Rakyat Kadipaten yang tak mau bekerjasama atau membangkang kehendak Belanda harus menanggung resiko dipukuli dengan cambuk oleh antek-antek Belanda. Mereka yang loyal terhadap Tanah Air dicambuk di sebuah lapangan kosong (kini areal parkir ruko toko Tujuhbelas). Selain dicambuk, mereka juga diikat pada tali pelana kuda. Mereka yang terhukum harus menahan sakit diseret kuda. Tak heran jika waktu itu masyarakat di daerah Kadipaten takut sekali pada Belanda karena mereka disuruh menonton langsung proses eksekusi semacam itu. Kini Desa Kadipaten terdiri atas dua belas blok atau RW, yaitu Blok Cangkring (Rw 01), Jatiraga Barat (Rw 02), Jatiraga Timur (Rw 03), Gordah (Rw 04), Babakan Cikempar (Rw 05), Teluk Jambe Utara (Rw 06), Teluk Jambe Selatan (Rw 07), Babakan Tipes (Rw 08), Ampera atau blok pasar (Rw 09), Pasar Lawas (Rw 10), Anjun (Rw 11), dan blok Sawala (Rw 12). Jumlah penduduknya mencapai 11.362 jiwa, dengan perbandingan 5647 laki-laki dan 5715 perempuan. 

Desa Kadipaten termasuk desa terpadat penduduk di Kab. Majalengka. Ditambah dengan banyaknya dari mereka yang tinggal di permukiman padat penduduk seperti Jatiraga Timur, Gordah, dan Teluk Jambe. Desa Kadipaten saat ini sudah menjadi kawasan kota. Tingkat keramaiannya jauh di atas kota Majalengka. 
Kadipaten tumbuh menjadi kota kecil yang ramai. Kota ini penuh dengan pernak-pernik kehidupan seperti kehidupan malam yang tidak berhenti hingga dini hari. Banyaknya hotel atau penginapan menjadi indikasi nyata, Kadipaten adalah kota yang pernah menjadi pusat tujuan bisnis orang-orang luar daerah Majalengka seperti Sumedang (furnitur), orang-orang China Tionghoa (perdagangan). 
Dahulu, Kadipaten dikenal sebagai kota judi dan prostitusi. Seiring dengan bertambahnya waktu, kota Kadipaten berubah image menjadi kota perdagangan. 
  
 Ambtenar pabrik gula Kadipaten tahun 1893



Jalur kereta api yang sudah tidak terpakai melalui sungai Ciputis (Cikasarung) Kadipaten



Perayaan panen tebu 'Penganten Tebu' Markonah di pabrik gula Kadipaten



Kantor kecamatan Kadipaten di Lapang Sedar


Suasana jalan perempatan Pasar Balong Kadipaten arah toko si Kucay


 Rel kereta api Bojong Cideres


Sasak Monjot



 Bendungan Rentang Jatitujuh tempat main sepeda bersama kawan-kawan kecilku


Mesjid desa Jatitujuh


  
DESA LIANGJULANG

Desa Liangjulang ada sejak abad ke- 12. Desa ini awalnya menginduk ke Desa Karangsambung atas perintah Demang Karangsambung yang berkuasa di Karangsambung. Alasannya agar hubungan komunikasi lebih baik tapi terbentur jarak. Maklum pada waktu, antara Karangsambung dengan Liangjulang terasa jauh. Maka warga Liangjulang diminta pindah ke Jatiraga.
Warga Liangjulang setidaknya harus rela menyerahkan upeti yang dikenal dengan istilah Susuk Gendung. Susuk Gendung berupa hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada Sang Demang.
Setelah warga Liangjulang berkembang banyak, maka mereka banyak yang kembali ke tempat asal. Mereka mengusulkan agar statusnya dipisahkan. Selama waktu tersebut mereka dianggap warga desa (Kademangan) Jatiraga.
Usulan mereka direspon baik para sesepuh mereka seperti Mbah Buyut Sipah, Mbah Buyut Sanu, Mbah Buyut Sijan, Mbah Buyut Wira dan Mbah Buyut Jami. Mereka bermusyawarah untuk menuntut hak otonomi kepada Demang Karasambung.
Selain menuntut hak otonomi, tokoh warga Liangjulang juga mencari-cari nama bagi desanya yang akan dimerdekakan dari Karasambung. Untuk mempercepat proses otonomi, maka ditunjuklah Mbah Buyut Sanu sebagai pemimpin desa.
Sejumlah tokoh masyarakat diundang pada musyawarah berikutnya. Segala masukan ditampung oleh Mbah Buyut Sanu. Topik yang lebih alot dibahas adalah pemberian nama desa. Pada saat itu memberi nama untuk satu desa tidak mudah. Pada waktu memberi nama selalu dikaitkan dengan kayakinan-keyakinan, unsur magis dan ghaib, serta dihubungkan hal-hal lainnya, sehingga untuk memberi nama pada dasarnya sendiri dibutuhkan waktu yang cukup lama.


Lahirnya nama Desa Liangjulang sendiri bukan menurut rancangan atau gagasan dalam beberapa musyawarah. Nama Liangjulang lahir tanpa sengaja. Ketika para tokoh berkumpul di suatu tempat, muncul seekor burung Julang hinggap disebuah tebing tak jauh dari lokasi musyarah. Burung Julang itu membuat lubang (Bhs. Sunda = liang). Maka lahirlah istilah Liangjulang.
Desa Liangjulang akhirnya lepas dari kekuasaan Demang Karangsambung. Mbah Buyut Sanu resmi menjadi "Demang" baru. Lingjulang juga terlepas dari pengaruh Jatiraga. Wilayah Liangjulang mencakup Doar, Pakauman, Bantarnagara, Omas dan Lapangsari.
Kehidupan Liangjulang berjalan sebagaimana mestinya sebagai sebuah desa pada umumnya. Masyarakatnya hidup rukun dan damai. Sampai akhirnya di zaman penjajahan Belanda, Liangjulang dijadikant tempat medan perang pasukan Ki Bagus Rangin melawan serdadu Belanda. Pertempuran pasukan Ki Bagus Rangin berlangsung sengit. Sungai Cimanuk dan belantara Liangjulang jadi saksi abadi pejuang-pejuang yang gugur dalam perang tersebut.
Baru pada tahun 1851, atas kebijakan pemerintag daerah provinsi Djawa Barat, Liangjulang menjadi satu atap pemerintahan dengan Desa Jatiraga. Wilayah Jatiraga mencakup kampung Teluk Jambe, Cihaliwung, Jatiraga, Jombol, dan Babakan Cikempar.
Akan tetapi, Desa Liangjulang mengalami pertambahan penduduk yang cukup banyak, sehingga pada tahun 1981 Desa Liangjulang dimekarkan menjadi dua desa, yakni Desa Langjulang dan Desa Kadipaten.
Setelah dimekarkan, Desa Liangjulang dipimpin oleh Kuwu E. Kartama (1982). Lalu oleh Aman Gandaharjana, M. Radi, Rosad Hidayat, Juhi Sutisna, Oo Hudori Mulyono, dan Lili Kusnali (Pjs). Lili Kusnali adalah Juru Tulis yang menggantikan Oo Hudori Mulyono yang meninggal pada saat memangku jabatan Kuwu.
Kini Desa Liangjulang terdiri atas 13 Blok atau Dusun, yaitu Blok Liangjulang (Rw 01), Jamiasih (02), Kamun (03), Doar Selatan (04), Doar Utara (05), Pakauman (06), Bantarnagara
(07), Omas (08), Dukuh Domba (09), Putat Barat (10), Putat Timur (11), Dukuh Huma (11), dan Blok Lapangsari (13).
Jumlah penduduk Desa Liangjulang mencapai 9.505 jiwa. Terdiri atas 4.686 laki-laki dan 4.899 perempuan. Data ini diambil dari hasil sensus 2003. berarti ada selisih yang cukup signifikan dari jumlah penduduk Desa Liangjulang menempati urutan ke-2 terbesar Se-Wilayah Kecamatan Kadipaten setelah Kadipaten (11.362 jiwa).
Sebagai desa tertua di Majalengka, Desa Liangjulang memiliki asset penting seperti industri bola sepak internasional PT. Sinjagraga Santika Sport (Tripple - S) milik pengusaha H. Muhammad Irwan Suryanto bersama istrinya Hj. Pepen Supartini, Tripple - S memproduksi puluhan ribu buah bola setiap bulannya. Bola sepak buatan Liangjulang ini pernah menjadi bola sepak resmi Piala Dunia 2002 Korea Selatan dan Piala Dunia 2006 Jerman.
Di Blok Doar Selatan juga terdapat perusahaan rokok terkenal yang membuka gudang distribusinya. Secara tidak langsung warga Desa Liangjulang diuntungkan oleh perusahaan ini karena ia bersedia menjadi sponsor dibeberapa kegiatan warga Liangjulang. Desa ini juga menjadi pusat perdagangan terbesar di Majalengka dengan adanya Toserba "SURYA" dan Rajawali Regency fasilitas perniagaan dan permukiman ini juga dilengkapi dengan sarana rekreasi.






 

DESA KARANGSAMBUNG

Desa Karangsambung merupakan desa tertua di antara tujuh desa di wilayah Kec. Kadipaten. Beberapa desa seperti Desa Liangjulang, Kadipaten (Jatiraga), Babakan Anyar dan Desa Pagandon dahulu berada di bawah pemerintahan Demang Karangsambung.
Nama Karangsambung lebih bernilai historis bila dibanding dengan nama Kadipaten, nilai historis Karangsambung terkait dengan pasukan Mataram yang ngababak-babak hutan lalu menjadi cikal bakal desa ini.
Menurut sumber sejarah, pasukan Mataram membuka lahan hutan menjadi pemukiman akibat rasa takutnya terhadap raja Mataram, Sultan Agung. Raja Mataram mengancam akan membunuh pasukannya jika perang dari Batavia tanpa membawa kemenangan. *)
Pasukan Mataram pada saat itu berada pada posisi yang delamatis. Di pihak lawan yang merupakan tentara-tentara kompeni Belanda terus mengejar meraka dengan persenjataan lengkap, jika memaksakan pulang ke Mataram sudah pasti ancaman sang raja menjadi kenyataan.


Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di hutan belantara agar tidak terdeteksi oleh tentara Belanda. Lambat laun mereka membabak hutan. Pasukan-pasukan Mataram akhirnya memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram untuk selamanya, mereka hidup di hutan itu dengan menyimpan rasa takutnya. Komunitas pasukan Mataram lambat laun melahirkan generasi-generasi baru mereka dari hasil pernikahan silang dengan di penduduk di luar hutan. Oleh karena polulasi mereka bertambah maka pemukiman tersebut menjadi kampung.
Para pasukan Mataram memiliki dasar keilmuan yang lumayan tinggi terutama ilmu agama Islam. Mereka ikut menyebarkan agama Islam. Pemeluk Islam pertama kali di daerah ini adalah Mbah Buyut Bungsu yang kelak bernama Mbah Buyut Sawala 1). Mbah Buyut kelak menjadi tokoh agama yang sangat disegani, menyebarkan ajaran Islam dengan basisnya di Cipaku, yang kini merupakan komplek makam kramat Buyut Sawala. Masjid pertama dalam sejaran Islam di daerah ini adalah Masjid Darussalam. Di masjid ini terdapat benda-benda sejarah berupa alat-alat perang pada saat tentara/pasukan mataram bertempur melawan kompeni (V.O.C.), antara lain keris dan tombak.
Benda-benda ini menjadi benda pusaka yang tidak sembarang orang bisa melihatnya, ada waktu-waktu tertentu untuk bisa melihat benda pusaka ini. Misalnya pada saat bulan Mulud dalam tahun Islam.

Di Masjid Darussalam juga terdapat kursi kesaksian. Setiap orang yang sedang dalam perkara, pada jaman dulu selalu digiring duduk untuk memberikan sumpah di atas kursi kesaksian tersebut. Jika berbohong maka pantatnya tidak akan bisa lepas dari kursi. Menyatu dengan kursi seperti dilem dengan bahan perekat kuat. Jika keterangannya benar, maka ia bisa berdiri dan beranjak seperti biasa.
Nama Desa Karangsambung juga memiliki keterikatan dengan Masjid Darussalam. Masjid ini dibangun dengan elemen batu karang, termasuk material penyangga mesjid. Komponen tiangnya dibuat dari potongan batu karang, dihubungkan dengan cara menyambung batu karang hingga membentuk tiang. Metode penyambungannya tidak terungkap dengan jelas.
Proses penyambungan batu karang tersebut membuat warga desa itu berpecak kagum hingga tersiar ke beberapa desa lainnya. Istilah karangsambung pun lahir, menandai desa dengan
masjidnya yang khas.
Ex pasukan-pasukan Mataram yang dikenal memiliki wawasan tinggi "melahirkan" keturunannya yang cerdas. Mereka mampu menguasai daerah Liangjulang, Jatiraga, Pagandon, dan Babakan Sinom.
Keturunan Mataram yang paling berpengaruh adalah Demang Karangsambung, nama aslinya tidak ada dalam catatan sejarah Kadipaten. Demang Karangsambung tampil sebagai penguasa tunggal, ia melakukan ekspansi kekuasan ke daerah Dawuan, Jatiwangi dan Palasah.


Kebijakan-kebijakan politik pada saat itu bergantung pada sang demang. Maka yang terjadi adalah sistem pemerintahan demang tampak otoriter, kekuasaannya lebih mirip dengan kekuasaan raja. Hal itu tampak dari pola hidup masyarakat Kademangan Karangsambung yang harus membayarkan upeti kepada demang.
Upeti itu bisa berupa hasil pertanian seperti padi, palawija dan barang-barang lainnya. Upeti tersebut langsung dibayarkan oleh masyarakat tanpa melalui perantara, mereka berbondong-bondong menyerahkan hasil pertaniannya untuk kepentingan demang.Akan tetapi pembayaran upeti kepada demang tidak menimbulkan antipati. Sebaliknya figur demang menjadi tokoh panutan, dihormati dan dianggap sebagai tokoh yang bertindak sebagai penguasa negeri.
Setelah kademangan Karangsambung mengalami regenerasi kepemimpinan, timbul pergolakan yang dipicu oleh perebutan wilayah. Karangsambung dihadapkan pada perlawanan Bantarjati yang berkuasa atas wilayah Kertajati, Jatitujuh dan Cibenda. Diriwayatkan antara Bantarjati dan Karangsambung terjadi class fisik. Akan tetapi tidak disebutkan pihak mana yang memenangkan perang dua kubu tersebut. Pada abad 18, Karangsambung tetap menjadi pusat permukiman penduduk. Kegiatan bisnis dan perdagangan sehari-hari berlangsung di Pasanggrahan. Sebelum jalan Anyer - Panarukan dibangun, pelabuhan sungai di Pasanggrahan merupakan terminal lalu lintas yang paling utama.

Masa kejayaan kota Pasanggrahan (sekarang : Babakan Anyar) berlangsung setelah dibangunnya pabrik gula Kadhipaten tahun 1868 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Arus barang diangkut dengan gotrok atau darengsin. Gotrok adalah sejenis lori. Gula yang sudah dikemas lalu diangkut dari pabrik gula di Omas-Liangjulang menyebrang jalan Kadipaten - Majalengka melalui book (Buk) rel. Jalur rel Lori ada 3 arah. Rel ke-1 ke arah pelabuhan pasanggrahan menyebrang sungai Cilutung ke perbatasan Sumedang, jalur ke-2 melalui perempatan lampu merah ke arah timur menuju pabrik gula Jatiwangi. Jalur ke-2 melintasi kawasan Cipaku menyisir pinggiran jalan raya Kadipaten, Dawuan, dan Jatiwangi, dan jalur ke-3 tembus ke pabrik gula Jatitujuh.
Karangsambung pernah menjadi tonggak sejarah manakala H. Agus Salim, H.O.S. Cokroaminoto, Katosuwiryo, H. Mansyur dan Mualim Badjuri sempat merasakan tinggal sementara di Karangsambung. Mereka adalah tokoh nasional pada zamannya. Hal ini berdasar pada keterangan Kuwu Hanim yang mengetahui sebagian data sejarah Karangsambung. Saat ini Karangsambung hanya terdiri atas tujuh blok atau kampung, yaitu Blok Ahad, Blok Senen, Blok Jum'ah, Blok Saptu, Kampung Dukuh Bitung, Dukuh warung Barat, dan Leuweung Bata.


Penduduk Desa Karangsambung berjumlah 7.960 jiwa. Sebagian besar berada di Dukuhwarung Barat dan Dukuhbitung. Dukuhwarung Barat dan Dukuhbitung terbelah sungai irigasi Cihaliwung. Tokoh-tokoh Karangsambung dari awal revolusi fisik adalah Rewah, Wahab, Sabur, Tirta, Jamil, Dawuh, Olik, Dadang, Tonton, Narga dan Bayong.
Tokoh Karangsambung terakhir adalah Kuwu Hanim yang merupakan ayah penulis terkenal Hikmat Gumelar. Kuwu Hanim adalah satu dari tiga kuwu Majalengka terbaik di bidang ketaatan Pajak Bumi dan Bangunan, besan dari Letjend. (Purn) Makmun Rasyid ini mendapatkan kehormatan memenuhi undangan Gubernur Jawa Barat untuk hadir dalam sebuah acara di Bandung. 




DESA PAGANDON
 
Ketika Pagandon masih menjadi "Pangadonan" daerah ini masih merupakan desa yang sebagian besarnya kawasan hutan, permukiman penduduk hanya  terdapat di Bojong (kini disebut Bojong Pagandon). Kota Pagandon lahir setelah lahan kosong dan lahan di sekitarnya dijadikan permukiman para buruh pabrik gula. Pihak Kompeni Belanda yang menguasai PG. Kadipaten mendirikan komplek perumahan buruh tersebut. Jumlahnya tidak lebih dari 200 rumah. Para buruh tersebut rata-rata bukan penduduk asli desa tersebut.
Ada yang mengatakan mereka dari Munjul, Cijati dan Tarikolot. Sampai sekarang ada blok yang dinamakan Dayeuh Tarikolot, artinya tempat tujuan usaha warga Tarikolot. Maka tak heran, Blok Pagandon yang merupakan bekas komplek perumahan buruh pabrik gula tersebut dihuni oleh orang-orang pendatang. Seperti yang diakui Sas Adams, Kuwu Desa Pagandon, hampir semua warga Blok Pagandon bukan asli penduduk setempat, kecuali orang-orang blok Bojong Pagandon dan Blok Cimoyan.
Desa Pagandon berdasarkan keterangan data sejarahnya, merupakan bekas wilayah kekuasaan Karangsambung pada saat Demang Karangsambung berkuasa yang mana daerah kekuasaannya sampai ke wilayah Palasah.Sebelum dijadikan Pengadonan oleh buruh pabrik gula, daerah Pagandon tadinya hutan yang di kemudian hari dibabak oleh Mbah Buyut Simin. Konon menurut cerita penduduk setempat, Mbah Samin adalah seorang pendatang dari Munjul.

Setelah terjadinya repartiasi atau pengungsian warga "Kota" Pasanggrahan ke Babakan Sinom akibat luapan air sungai, warga Pagandon masih tetap berada di wilayah pemerintahan Desa Karangsambung. Pada tahun 1974, Pagandon memiliki seorang pemimpin kampung dengan jabatan Rurah. Namanya Asmawi, jabatan rurah setara dengan jabatan kadus atau RW yang bertanggung jawab terhadap kuwu atau kepala desa.
Pagandon resmi menjadi desa setelah dimekarkan dari desa Karangsambung tahun 1982. Kuwu pertamanya adalah C. Ursa yang selama delapan tahun sebelumnya tampil sebagai pengganti Rurah Asmawi. Tahun 1984 baru ditetapkan sebagai Kuwu definitif. Kuwu selanjutnya adalah E. Turmad, Jajat (pejabat), dan Sas Adams.
Desa Pagandon yang memiliki luas 300,273 Ha memiliki tiga blok yang terpisah jarak dan terhalang oleh areal persawahan. Antara Blok Cimoyan di dekat pusat kota Kadipaten dan Blok Bojong Pagandon terdapat jarak yang sangat jauh. Pada waktu yang akan datang, desa ini potensial untuk dimekarkan, terutama blok Cimoyan yang sudah lebih mirip daerah perkotaan. Dari 4759 jiwa penduduknya sebagian besar berada di blok Cimoyan.
Di desa ini terdapat suatu mitos bahwa Mbah Buyut Simin suka menjelma dengan wujud seekor harimau, penampakan itu terjadi apabila kondisi desa Pagandon dalam keadaan tidak aman.



 


DESA BABAKANANYAR 

Menurut Umi Soka atau Aki Soka sebagai saksi sejarah Babakan Anyar yang masih mengetahui persis riwayat desa ini. Ia konsisten pada pendirian dan keinginannya untuk tetap mempertahankan nama Babakan Sinom daripada nama BabakanAnyar. Memang pada mulanya desa ini bernama Babakan Sinom, terdiri atas tiga “kota” atau blok, yaitu Babakan Sinom, Pasanggrahan dan Dayeuh Kolot. Babakan Sinom adalah daratan yang jauh dari sungai Cilitung dan Cimanuk. Sedangkan Pasanggrahan merupakan kota terbesar di Kadipaten pada saat itu, yang persis berada di samping sungai.
Pasanggrahan adalah pelabuhan utama perahu-perahu niaga. Pasanggrahan juga sebagai pelabuhan bagi arus distribusi gula. Hasil produksi PG. Kadhipaten didistribusikan melalui sungai Cimanuk dan Cilitung, melalui Indramayu ke pantai utara jawa dengan tujuan Batavia (Jakarta). Pada saat pelabuhan pasanggrahan dikuasai oleh Ko Pek Lan atau Babah Pek Lan. Ia adalah penguasa Cina yang menguasai Kadhipaten. Ko Pek Lan melakukan kongsi dengan koleganya Eng Kit mengatur perdagangan di Pasanggrahan. Kekuatan ekonominya mengalahkan kekuatan Belanda dalam mengendalikan alur bisnis produksi gula. Maka Ko Pek Lan hadir sebagai pengusaha yang memberikan suntikan dana untuk pabrik gula. Transaksi perdagangan pada waktu itu tidak menggunakan uang goeng atau uang logam tapi uang kertas.

Kota Pasanggrahan akhirnya dikuasi oleh warga Cina pendatang. Mereka jadi penguasa ekonomi, sementara warga desa menempati Blok Dayeuh Tarikolot. Oleh karena terjadinya perubahan struktur geologi tanah, akhirnya kota Pasanggrahan terendam. Seluruh warga kota Pasanggrahan mengungsi. Begitu pun dengan warga Dayeuh Tarikolot yang sama-sama terkena imbas luapan air sungai terpaksa mengungsi. Mereka membuka lahan baru untuk permukiman, yaitu Babakan Baru atau tempat permukiman baru.
Mereka menempati kampung baru Babakan Sinom. Babakan Sinom memiliki warga baru dengan jumlah banyak. Akibatnya muncul muncul nama baru (anyar) untuk Babakan Sinom yaitu Babakan Anyar.
Akhirnya Pasanggrahan dinyatakan sebagai The lost city atau kota yang hilang. Terlebih lagi setelah dibangunnya dam rentang Jatitujuh, tidak ada lagi perahu-perahu dari Indramayu yang bisa masuk ke wilayah ini.
Apalagi setelah munculnya kendaraan-kendaraan bermotor, lalu lintas ekonomi di sungai menjadi tidak berarti lagi. Pengangkutan barang seperti garam, gula, padi dan tebu dialihkan ke jalur darat.
Peran para pengusaha China pun ikut luntur. Mereka banyak yang beralih profesi menjadi pedagang di Teluk Jambe, Cikempar dan daerah sekitar pablik gula.

Apabila dikaitkan dengan asal-usulnya, Babakan Anyar atau Babakan Sinom merupakan daerah hasil pemekaran dari Desa Karangsambung. Daerah ini pada awalnya merupakan daerah kekuasaan Demang Karangsambung. Tahun 1903 Babakan Anyar sudah bisa menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Daerah ini dipimpin oleh seorang Kuwu bernama:
1. Sartam (1903 – 1908). Lalu diteruskan oleh
2. Nerman (1908 – 1910), dan
3. Tirtadiwirya (1910 – 1926).Nama Babakan Anyar sendiri resmi menjadi nama desa pada saat desa ini dipimpin oleh
4. Warsita. Kuwu Warsita digantikan oleh Kuwu
5. Emon pada tahun 1942. Namun sayang, Kuwu Emon tewas ditembak tentara Belanda di daerah Monjot ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947. Maklum, di Kadipaten pada saat itu terjadi perlawanan sengit pasukan tiga belas atau pasukan Sindangkasih di Kadipaten. Daerah Babakan Anyar sempat menjadi sasaran tentara Belanda.
Kuwu Emon dikenal sebagai orang yang tidak mau kooperatif terhadap Belanda. Setelah Kuwu Emon tewas, Rekomba Belanda akhirnya menunjuk sebagai Kuwu Babakan Anyar.
6. Wahaab Namun Kuwu Wahab hanya menjabat selama satu tahun karena Belanda harus hengkang dari Indonesia. Kuwu Wahab pada saat itu hanya menjadi antek-antek Belanda.

Kuwu-kuwu Desa Babakan Anyar berikutnya adalah :
1. Sartam (1903 – 1908)
2. Nerman (1908 – 1910)
3. Tirtadiwirya (1910 – 1926)
4. Warsita (1926 - )
5. Emon
6. Wahaab ( – 1948)
7. Darji (1948 – 1956)
8. E. Sukatma (1956 – 1961)
9. Endo Ruspada (1961 – 1962)
10. S. Abdurochim (1962 – 1970)
11. M. Komar (1970 – 1980)
12. E. Katma (Penjabat 1980 – 1982)
13. A. Wasta (Penjabat 1982 – 1984)
14. A. Rochaman (1984 – 1993)
15. S. Abdurohim (1994- 1995)
16. Ede Sukmana (Penjabat 1995-1998)
17. Adeng supena (1998-2008) dan sekarang dijabat oleh Kepala Desa
18. Maman Yuskoto (2008 - )

Desa Babakan Anyar memiliki tiga situs atau cagar budaya berupa makam kramat. Terdiri atas makam kramat Buyut siwalan, Buyut Anis, dan Buyut Gabug. Makam Karamat Buyut Siwalan terletak di Blok Simpeureum. Makam Kramat Buyut Anis terletak di lokasi yang sama. Sedangkan Makam Kramat Buyut Gabug terletak di Blok Citabo. Lokasinya persis di depan SDN Babakan Anyar.
Di desa Babakan Anyar berkembang kesenian reog. Kesenian ini dilestarikan oleh pa Cineur asal Balida. Kesenian Reog adalah pertunjukan seni tabuhan, nyanyian, dan dialog secara spontanitas, kemampuan menari, dan adanya unsur lawakan. Reog sendiri berasal dari kata ruag-rieg yang artinya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Secara filosofis reog menggambarkan suasana kehidupan bersama secara rukun dan damai. Ada istilah sareudeuk saigeul, sabobot sapihanean.
Instrumen musik reog terdiri atas empat waditra Dogdog yaitu dogdog Enting, Entung, Jongjrong dan dogdong Udeng. Ditambah dengan angklung, gong tiup, ketuk, dan kecrek. Kelompok atau grup reog terkenal di Babakan Anyar adalah reog si Jeler pimpinan Satim. Si Jeler adalah diambil dari pemain utama grup ini. Grup reog si Jeler pecah menjadi dua kelompok, kelompok ke-2 berposisi di daerah Argapura dipimpin oleh ibu Jeler.
Babakan Anyar sekarang dihuni oleh 218 jiwa penduduk. Suatu jumlah yang sangat tidak sebanding dengan desa tetanggangnya yang mencapai enam kali lipat jumlah tersebut. Hal itu menisbikan atau membiaskan kejayaan Babakan Anyar sebagai daerah yang pernah menjadi kota pelabuhan penting di Jawa Barat.

Makam kramat Ki Buyut Sawala adalah situs sejarah yang letaknya di Blok Sawala Desa Cipaku Kecamatan Kadipaten. Lokasinya tepat di belakang Mapolsek Kadipaten. Makam kramat ini berdampingan dengan makam Bong yang merupakan pemakaman orang-orang  China keturunan. Tak jauh dari sini terdapat bakal lokasi komplek perumahan Kadipaten Permai.
Makam kramat Ki Buyut Sawala termasuk cagar budaya. Statusnya dilindungi dengan Undang-Undang No. 519 tentang pelestarian cagar budaya. Makam ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama yaitu makam Mbah Buyut Bungsu atau Eyang Sawala Sawali, bagian dua di bawahnya makam Nyi Mas Ratu Undansari dan Nyi Mas Ratu Mayangsari.
Makam ini dirawat oleh seorang Kuncen atau juru pelihara. Namanya A. Budiman, warga Cipaku. Juru pelihara bertugas merawat atau membersihkan pusara Mbah Buyut Bungsu. Pusara ini banyak dikunjungi oleh orang-orang luar Kadipaten. Mereka kebanyakan datang dari Bandung, Garut, dan Sumedang. Rata-rata mereka menginap di makam ini sambil menjalankan ritual keagamaan. Ada ruangan khusus untuk shalat dan dzikir.

Makam Mbah Buyut Sawala pada awalnya merupakan tempat "nyawala" yang berarti tempat bermusyawarah. Yang bermusyawarah di sini adalah golongan para aulia. Segala persoalan penting dibahas di tempat ini. Termasuk waktu terjadi wabah di desa Jatiraga (Kadipaten) akibat kekuatan 'teluh jampe' 1) seorang warga. Teluh jampe ini menyebabkan seluruh warga Jatiraga terserang wabah. Lalu para aulia yang terdiri atas Mbah Ki Buyut Bungsu, Mbah Buyut Bekel, dan Mbah Buyut Sarjiah bermufakat di sini.
Warga Jatiraga akhirnya sembuh dari wabah tersebut atas pengobatan Mbah Buyut Bungsu. Mbah Buyut Bungsu yang merupakan orang pertama penganut Islam di Kadipaten diriwayatkan memiliki kekuatan magis. Ia diberi kekuatan mampu terbang dengan menggunakan "barangbang kalapa". Barangbang kalapa adalah dahan pohon kelapa yang sudah mengering.
Mbah Buyut Bungsu selalu bepergian ke Cirebon menggunakan barangbang kelapa. Ia mampu terbang dengan menggunakan mantra bismillahirrahmanirrahim. Ada perbedaan pengucapan lafadz basmalah tersebut. Lafadz basmalah yang baku digunakan adalah bismillahirahmanirrahim. Menurut A. Budiman, Mbah Buyut Bungsu memang menggunakan lafadz basmalah yang berbeda untuk mantranya.
Mbah Buyut Bungsu juga dikenal sebagai orang yang membabak atau merintis lahirnya kota Kadipaten. Ia membabak hutan untuk dijadikan lahan permukiman. (Lihat: Sejarah desa Karangsambung). Mbah Buyut Sawala berjasa menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Kadipaten yang waktu itu meliputi daerah Kadipaten, Panyingkiran, Kertajati, dan Dawuan.

Sebagai penghormatan, setelah wafat Mbah Buyut Bungsu dimakamkan persis di tempat ia terbiasa duduk bermusyawarah. Ia diberi nama kehormatan Ki Buyut Sawala yang artinya ahli mufakat. Kini nama Sawala diabadikan menjadi nama taman makam sawala, dan gedung DPRD "BHINEKA YUDHA SAWALA". Sawala menjadi nama yang sakral di kalangan masyarakat Majalengka. Sawala mengandung nilai yang amat penting.
Makam Kramat Buyut Sawala menjadi aset penting bagi Desa Cipaku. Meskipun cagar budaya ini tidak menghasilkan keuntungan materil bagi desa Cipaku, namun Makam Kramat Buyut Sawala menjadi sisi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Cipaku.
Desa Cipaku memiliki keterkaitan dengan Desa Heuleut. Cipaku dahulunya merupakan cantilan Desa Heuleut. Sebagian besar wilayahnya merupakan lahan tegalan yang tak bisa ditanami. Sehingga mengakibatkan warga di Desa Cipaku mengalami ketertinggalan dalam bidang agribisnis. Infertibilitas tanah di Cipaku menyebabkan masyarakat Cipaku merasa kesulitan bercocok tanam.
Menurut Emed Casmad, Kuwu Desa Cipaku, tak kurang dari seratus hektar atau sepertiga tanah di wilayah Desa Cipaku adalah milik Balai Diklat Kehutanan. Tanah tersebut sepenuhnya merupakan lahan hutan jati (tectonia grandis), dann mahoni (mahogany). Dahulu kawasan hutan ini adalah tempat yang "angker". Sebelum dibangunnya terminal Cideres, kawasan hutan Cipaku merupakan daerah yang sangat sepi. Di kalangan masyarakat setempat muncul sebuah mitos atau kepercayaan. Bilamana ada orang yang lewat hutan jati Cipaku maka orang tersebut harus melemparkan uang.
Mitos ini diketahui oleh orang-orang luar Majalengka. Penulis masih ingat ketika tahun 1970. Ketika bis melintasi daerah hutan jati Cipaku (sekarang sekitar terminal Cideres) ada beberapa penumpang melemparkan selembar uang kertas atau sekeping uang logam ke arah hutan.

Tradisi lempar uang tersebut diyakini sebagai alat untuk mencegah marabahaya karena pada waktu itu muncul keyakinan kalau tidak melempar uang maka dikhawatirkan perjalanan tidak akan mulus atau akan mengalami kecelakaan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mitos itu lambat laun sirna. Kini tidak ada lagi tradisi lempar uang di kawasan hutan jati tersebut.
Nama Desa Cipaku sebenarnya merupakan frasa yang berasal dari tiga kata. Cideres, Pancurendang, dan ?. Sekarang merupakan Blok Cideres, Babakan Pancurendang, dan Blok ?. Desa Cipaku adalah desa yang paling tertinggal di antara 7 desa di wilayah Kecamatan Kadipaten. Selain jumlah penduduknya yang hanya tak lebih dari 2.000 jiwa, sarana dan prasarananya pun masih terbilang sangat terbatas.


Catatan kaki : 1) Teluh Jampe menjadi cikal bakal nama Blok Teluk Jambe di Desa Kadipaten.


  

ASAL USUL PELET MARONGGE


Pelet Marongge memang dahsyat dan selalu diburu orang yang memerlukan. Pelet ini diyakini paling ampuh dalam memikat asmara lawan jenis. Ritual memperoleh pelet Marongge pun unik. Yakni dengan ziarah di makam Mbah Gabug, lalu berendam di Sungai Cilutung dan membuang pakaian dalam.

Ilmu pelet adalah ilmu yang sering diburu orang. Diantaranya oleh mereka yang sulit bertemu jodoh, usaha selalu rugi dan peruntungan negatif. Dan ilmu pelet Marongge, lebih dikenal sebagai pemikat asmara. Ilmu pelet ini didasar ilmu yang berasal dari Ajian Si Kukuk Mudik, milik Mbah Gabug yang terkenal pilih tanding.

Bila ditelusuri lebih jauh, Ajian Si Kukuk Mudik berasal dari legenda keramat Marongge. Marongge sendiri sebenarnya nama sebuah desa di Kecamatan Tomo, Kab Sumedang. Lokasinya di sebuah bukit yang berada di jalan raya Tolengas dan Cijeungjing, berbatasan dengan Kec. Kadipaten, Kab. Majalengka dan juga dekat bendungan Jatigede. 

Menuju ke lokasi harus melalui jalan setapak yang cukup menanjak. Seratus meter kemudian terdapat kompleks pemakaman umum Desa Marongge. Di dalamnya terdapat tiga bangunan. Salah satunya paling dikeramatkan karena diyakini kuburan karuhun sebagai ujung dari asal-usul ilmu pelet Marongge. Tiada lain adalah makam Mbah Gabug, Mbah Stayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah.

Setiap hari selalu saja ada yang berziarah ke lokasi ini, kecuali Selasa. Peziarah tampak membludak bila malam Jumat kliwon tiba. Saat itulah ritual nyacap ajian ilmu pelet Marongge dilakukan. Terkadang, pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan suatu kali pernah mencapai seribu orang ketika Jumat kliwon bertepatan dengan bulan Maulud.



Mbah Gabug

Mbah Gabug adalah wanita ayu asal Mataram yang bermukim di Kampung Babakan, dekat Keramat Marongge sekarang. Di sanalah Mbah Gabung dahulu tinggal bersama tiga saudara wanitanya, Mbah Setayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah. Keempat bersaudara ini dianugerahi paras yang ayu. Bahkan kecantikan mereka terkenal ke penjuru negeri. Sehingga tidak sedikit raja, pangeran dan pemuda yang terpikat.

Namun, entah kenapa keempat gadis ayu rupawan ini senantiasa melajang. Dan itu pula yang mengundang rasa penasaran. Tersebutlah seorang raja bernama Gubangkala yang mengutus patih diiringi bala tentara untuk menemui dan melamar paksa Mbah Gabug. Tapi niat buruk itu tercium. Mbah Gabug lalu bersemadi dan mengerahkan segenap kesaktiannya.

Ketika rombongan tiba di gerbang dusun Babakan, mereka semua tertidur karena disirep Mbah Gabug. Tak berapa lama mereka dibangunkan kembali. Sang patih yang congkak, tak menyadari apa yang menimpa mereka dan pasukannya. Ia tetap bersikeras menyampaikan permintaan raja dan meminta Mbah Gabug sudi dipersunting Raja Gubangkala.

Menghadapi kepongahan sang patih, Mbah Gabug tetap tenang. Ia menyatakan bersedia dipersunting Raja Gubangkala, namun dengan satu syarat. Syaratnya adalah Gubangkala sanggup mengembalikan kuku (sejenis buah labu air) yang dibawa arus deras sungai Cilutung yang bermuara di sungai Cideres.

Mendapat tantangan itu, patih kembali menghadap Gubangkala. Sang raja yang angkuh itu pun bersedia meladeni tantangan kekasih hatinya, Mbah Gabug. Di sisi sungai Cilutung, keempat wanita ayu itu menyaksikan kesaktian raja Gubangkala. Mbah Gabug melempar buah kukuk ke sungai dan hanyut dibawa air deras. Gubangkala mengerahkan kesaktian untuk menarik kembali buah kukuk itu sehingga melawan arus.

Namun hingga seluruh kesaktiannya terkuras, buah itu tak kunjung kembali. Ia pun akhirnya mengaku kalah, sambil meminta Gabug untuk menarik buah kukuk yang hanyut itu. Mbah Gabug dengan tenang mengeluarkan lokcan (selendang) yang dijuluki cindewulung itu dan mengibaskannya tiga kali.

Sungguh menakjubkan, seketika buah kukuk yang telah hanyut dibawa arus itu kembali dan akhirnya loncat ke sebuah batu cadas yang berbentuk meja. Hingga kini, batu cadas ini dikenal dengan nama cadas meja dan masih bisa disaksikan di Kampung Parunggawul desa Bonang, Kecamatan Kadipaten, Kab. Majalengka, yang berbatasan dengan lokasi Keramat Marongge berada.



Nama Marongge

Seperti diceritakan kuncen Marongge, Abdul Halim, upaya menaklukkan dan mempersunting Mbah Gabug dan ketiga saudaranya ini terus berulang. Namun mereka selalu menang dan tetap ingin melajang. Konon, itu semua berkat selendang sakti berjuluk Cindewulung. Hingga suatu ketika, Mbah Gabug pergi tanpa pamit. Selama tiga tahun 41 hari Mbah Gabung menghilang.

Ketiga saudaranya mencari-cari hingga sampailah ke suatu hutan lebat. Di sana Mbah Gabug ditemukan dalam keadaan tafakur, bahkan seperti sudah hendak meninggal. Dan pada saat bersamaan, terdengarlah suara gaib. Suara itu memerintahkan tiga adik Mbah GAbung untuk mencari kilaja susu munding (buah mirip melinjo yang bentuknya sebesar pentil kambing). “Buah itu diperuntukkan sebagai obat bagi Mbah Gabug. Mereka pun menemukannya, dan ramuannya diminumkan kepada Mbah Gabug,” tutur Abdul Halim.

Perlahan Mbah Gabug sembuh. Tapi terdengar lagi suara gaib. Kali ini empunya suara memperkenalkan diri dengan nama Haji Putih Jaga Riksa, penunggu Gunung Hade. Kemudian Mbah Gabug menyuruh ketiga adiknya menggali tanah bekas Mbah Gabug dahulu ditemukan terbaring. Setelah selesai, Mbah Gabug masuk ke dalamnya dan memerintah ketiga adiknya untuk menutup lubang dengan rengge (sejenis ranting bambu haur), setelah itu ketiganya disuruh pulang.

Karena penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakaknya, ketiga saudara ini kembali ke tempat itu menjelang tengah malam. Dan mereka sungguh terkejut ketika dari tempat itu terlihat merong (cahaya memancar). Akan tetapi tubuh Mbah Gabug tidak leihatan lagi. Akhirnya nama itu hingga kini disebut Marongge. Berasal dari kata merong dan rengge. Dan sejak itu pula tempat itu dikeramatkan dan dikunjungi banyak orang yang mengalami kesusahan.



Ajian Kukuk

Menurut kuncen Abdul Halim, mendapatkan ilmu pelet Marongge harus dengan mengikuti ritual yang berpuncak pada malam Jumat kliwon. Ritual itu disebut nyacap ajian (cara memperoleh ajian). Biasanya, sejak Kamis siang para peziarah sudah berdatangan. Mereka datang dari berbagai tempat. Menjelang malam mereka melakukan tawasul sambil mengungkap hajat masing-masing di sekitar makam Mbah Gabung dengan dipimpin kuncen.
Saat tengah malam, mereka berbaris dan berjalan menuju Sungai Cilutung. Jaraknya sekitar 400 meter dari makam keramat Marongge. Dalam kegelapan malam, mereka bergerak melintasi jalan Tolengas-Cijeungjing, menyusuri jalan setapak, hingga mencapai Sungai Cilutung yang lebarnya 50 meter.

Seluruh peserta turun ke sungai yang airnya tidak terlalu dalam. Sambil mandi dan berendam, mereka membaca mantera yang diberi kuncen diiringi ungkapan agar tercapai segala keinginan. Acara berendam ini, kata Abdul Halim, merupakan ritual yang paling penting dalam prosesi mendapatkan ilmu pelet Marongge.

Dan hingga mendekati akhir prosesi, mereka diharuskan melepaskan pakaian dalam, lalu dihanyutkan di sungai itu. Konon, ritual buang pakaian dalam itu sebagai bentuk membuang segala kesialan. Selepas itu, prosesi nyacap ajian ini pun selesai. Ketika keluar dari sungai, para peserta menganggapnya sebagai memasuki babak baru dalam hidupnya. “Ada semacam semangat dan keyakinan yang tumbuh. Kalau ingin jodoh mereka jadi percaya diri,” ungkap Abdul Halim.

Kabarnya, ketika berada di dalam air itu, seseorang yang beruntung kerap menemukan jodohnya seketika di tempat itu pula. Misalnya, entah kenapa tiba-tiba seseorang baik laki-laki atau perempuan bisa berkenalan dengan pasangannya. Dan selanjutnya mereka pun berjodoh. Wallahu ‘alam bissawab. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar